Supir Angkot

Siang itu, di tengah-tengah terik matahari yang begitu menyengat, aku duduk terdiam di kursi angkot (Angkutan Umum) bagian depan. Di sebelah kananku tempat Pak Supir.

Mulanya, aku mengira ia tak beda dengan kebanyakan supir lainnya. Apalagi, kesan-kesan awal membenarkan hal itu. Ia sering emosi ketika pengguna jalan yang lain mendahuluinya, atau saat pengendara motor pencet-pencet klakson secara tak etis dari belakang. Aku sadar, Pak Supir sangat beralasan untuk emosi. Penampilan dan style-nya juga tak beda dari kebanyakan supir lain. Hanya saja, itu semua adalah tampilan luar.

Angkot berjalan normal. Cuaca yang panas dan gerah masih seperti semula. Tiba-tiba, tak terasa angkot 102 yang kita tunggangi sudah sampai Cinere. Pada satu titik kawasan sebelum Mal Cinere, ada area proyek pembangunan. Aku hanya melihat-lihat. Usai itu, aku mencoba ramah dan dialog dengan Pak Supir.

“Ini (proyek pembangunan) mau dibikin apa, Bang??”
“Carrefour, Mas...”

Tak lama berselang, Pak Supir melanjutkan percakapannya. Kebetulan juga, tepat di belakang persis Pak Supir ada seorang Ibu yang juga vokal dan suka nyambung obrolan. Kata Pak Supir, tak lama lagi jalan dari Cinere sampai Parung Bingung akan dilebarkan. Kalau gak salah, kanan dan kiri jalan akan ditambah 8 m. Ia juga bilang bahwa dari Depok sampai Lebak Bulus—lewat jalur Kebayoran—akan dibuat tol, sebagaimana dari Depok sampai Citayam akan dibikin tol juga. Anehnya, saat pengukuran oleh petugas sudah dijalankan beberapa bulan yang lalu, kini patokan-patokan itu dicabutin lagi. Tak tau, apakah pelebaran jalan urung dilakukan, atau entah apa.

Dalam taksiran Pak Supir, pelebaran jalan dari Cinere ke Parung Bingung—jika direalisasikan—paling cepat memakan waktu 8 bulan. Ia menggunakan analaogi dalam klaim itu. Katanya juga, kawasan itu nanti akan dijadikan sarang perkantoran, mengingat letaknya yang strategis.

Sampai di sini, Pak Supir baru mencermati keadaan realitas sekitar yang menghimpitnya. Selanjutnya, ia melakukan komparasi dengan keadaan zaman dulu, masih dalam lingkup teritorial yang sama, yakni Indonesia.

Kata dia, di zaman Soekarno dulu, pembangunan merata, walau harus diakui tingkat kemajuan yang dicapainya tidak secemerlang era Soeharto dan sekarang. Itu lebih baik dari pada sentralisasi seperti sekarang. “Pejabat-pejabat sekarang”, lanjutnya, “pada berebut kedudukan, popularitas, dan harta”. Jadi, wajar jika kesejahteraan rakyat tak begitu dipedulikan. Rakyat sengsara.

Kondisi demikian, menyeret sebagian rakyat jelata berlaku curang dalam transaksi jual-beli. Misalnya, di daerah Pak Supir sendiri, Parung Bingung, rata-rata minyak tanah dibanderol dengan harga 9 ribu/lt. Hanya saja, ada keganjilan tersendiri. Menurutnya, minyak tanah di warung-warung itu, kebanyakan berwarna agak ungu, dan berbau tak ubahnya solar. Jika benar bahwa itu adalah solar, atau paling tidak, dicampur dengan solar, maka keuntungan yang mereka dapat adalah dua kali lipat. Sebab, harga solar 4 ribu. Itu adalah contoh kecurangan dari kalangan bawah. Rasanya, genap sudah permainan curang dari elit atas sampai kalangan bawah di Negeri ini. Tiba-tiba, saya teringat sabda Rasul, “man gasysyana fa laisa minna”, tukang tipu itu bukan bagian dari Kami!

Pak Supir masih belum berhenti berkisah. Kata dia, bahkan habib-habib yang melayani pengobatan masyarakat, yang mana mereka adalah sosok panutan masyarakat awam—sudah banyak di antara mereka yang tak punya harga diri. Untuk kasus pengobatan, ada di antara mereka yang pasang harga begitu tinggi, sehingg rakyat miskin tak bisa nyuwun pertolongan kepada mereka. Gilanya lagi, ada pasien yang sudah menikah bertahun-tahun dan belum punya anak, lalu mencoba “konsultasi” ke si Habib, eh malah istri si pasien dicabuli. Gila! “Iman-Islam mereka hanya dibuat kedok, Mas!”, kata Pak Supir kepada saya menilai para habib itu. Aku tak tau, valid atau tidak informasi yang ia sampaikan itu. Yang pasti, itu menunjukkan keprihatinan yang mendalam dari seorang supir atas apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya.

Cuaca tak panas lagi. Gelap. Aneh, tiba-tiba hujan lebat. Tapi itu lebih baik dari pada cuaca panas yang tak bosan-bosannya memeras keringatku.

Aku pikir Pak Supir sudah kehabisan wacana. Ternyata tidak. Ia menerobos sekat-sekat yang memisahkan antar negara di kawasan Asia Tenggara. Ia mencoba melakukan komparasi keadaan ekonomi-sosial beberapa negara di Asia Tenggara dengan Indonesia.

Kata dia, di Malaysia dan Singapura tak ada angkot semacam ini. Tentu yang ia maskud adalah angkot 102 yang ia tarik (kemudikan). Ia menuturkan kesejehteraan sosial di dua negara teresebut dengan apik, padahal dulu “Malaysia itu lebih miskin dari kita”, ujarnya. Walau dengan jujur ia akui, bahwa warga Malaysia kebanyakan disiplin.

Aku sendiri banyak lupa poin apa saja yang singgung dari dua negara tersebut. Aku mulai berfikir bahwa Pak Supir ini dulunya adalah mantan TKI.
Belum selesai aku melayang-layang dalam fikiranku, Pak Supir tiba-tiba berbicara seputar keadaan ekonomi-sosial di Philipina.

Ia bertutur, di Philipina keadaan perdesaannya tak jauh beda dengan kita. Bahkan, malah ada yang lebih miskin. Kalau di Philipina, angkot-angkotnya tak beda dengan kita di sini, bahkan lebih jelek. Kebanyakannya adalah mobil 2 tak, atau angkutan air [perahu kecil].

Aku mulai kagum dengan uraian Pak Supir. Belum selesai aku terpesona, “Hanya saja Mas, kalau di masyarakat di Philipina—bedanya dengan kita—masih banyak yang menganut animisme dan dinamisme”, ujarnya. Aku kaget, dari mana Pak Supir tau sampai titik itu? Belum selesai aku berfikir, ia melanjutkan, “Kalau di Kita, ya seperti di Nias, atau yang deket sini, di Ujung Kulon”. Aku terperanjat, bagaimana Pak Supir ingat betul beberapa titik geografis di Indonesia yang penduduknya masih memeluk animisme? Itu ada di pelajaran SLTP. Bahkan, “Nias” adalah nama daerah yang telah lama lenyap dari memoriku. Aku kembali ingat nama itu lewat uraian Pak Supir tadi.

Pak Supir masih terus berkisah. Tapi sayang, aku sudah sampai tujuan. Mau tak mau, aku harus meninggalkan Pak Supir itu dan membiarkannya bercerita kepada Ibu-Ibu yang duduk persis di belakangnya.

Yang patut disesalkan, aku lupa beberapa nama daerah yang ia singgung dalam perbincangan itu, baik di dalam maupun di luar negeri. Sehingga, apologized, aku tidak dapat menarasikan pengetahuan Pak Supir tadi!

Siang itu, aku merasa begitu bahagia! Tak dapat aku deskripsikan rasa yang menyelimuti hatiku saat itu. Aku bahagia karena bertemu dengan Pak Supir yang beda dari yang lain. Supir yang menjalani profesinya sebagai supir angkot, namun tetap memiliki kepedulian dan pengetahuan yang cukup.

Betapa pun tidak seluruh yang ia bicarakan dapat aku setujui, aku tetap bahagia mendapat satu pelajaran menarik dari seorang supir angkot. Semoga ia mendapatkan jalannya.

Terima kasih Tuhan!
Wa-Allahu a’lam.

[sabtu, 30 Mei 09]

0 komentar:

 
©2009 bismiLLah | by TNB