DR.Khalid al-Walid dan Pluralisme; Kritik atas Kritik

Pelatihan Kader Muballigh Ahlul Bait Nasional Angkatan 1 yang diselenggarakan oleh Yayasan Dana Mustadhafin bekerja sama dengan ICC dan STAI MI, di Aula STAI MI beberapa bulan yang lalu itu ditutup pada Sabtu, 28 Maret 2009.

Tema yang diusung pada penghujung pelatihan itu, bagi saya, cukup menarik, yaitu soal Pluralisme Agama dan Hermeneutika. Tema ini dibawakan oleh DR. Khalid al-Walid. Namun, karena ada “perampingan” waktu, mau tidak mau pemateri harus mempersingkat presentasinya. Karena tema ini dirasa cukup urgen, pemateri memilih menyampaikan satu tema saja namun tuntas, dari pada dua tema tapi tanggung. DR. Khalid memilih tema Pluralisme Agama. Kebetulan yang ditunjuk sebagai moderator dan notulis pada waktu itu adalah saya.

Sebagai notulis, biasanya—seperti pada hari-hari sebelumnya—saya diminta untuk membuat resume secukupnya dari uraian para pemateri. Namun, pada kesempatan terakhir itu saya tidak menjalankan tugas saya dengan baik. Entah, tema itu begitu menarik bagi saya. Sehingga, saya terpaku mencermati uraian dan argumen-argumen DR. Khalid dalam menolak prinsip Pluralisme Agama. Saya mencoba mendialogkan apa yang ada di dalam benak saya, dengan apa yang saya dengar, lihat, dan alami saat itu. Tentu saja dialog-individual saya bersifat pasif, sebab, sebagai moderator dan notulis, saya tidak bisa nimbrung diskusi tak ubahnya peserta pelatihan.
Resume yang saya buat untuk uraian DR. Khalid cukup singkat. Anehnya, ternyata saya lebih disibukkan untuk menuliskan keberatan-keberatan dan kritik saya atas argumentasi dan sanggahan DR. Khalid terhadap gagasan Pluralisme. Dari situlah lahir Kritik atas Kritik secara reflektif.

Saya akan ikuti definisi Pluralisme yang dirumuskan oleh DR. Khalid. Sebab, lucu jika saya mengkritik argumen-argumen penolakan beliau, namun pada saat yang sama, konsep Pluralisme yang kita pahami berbeda. Saya menduga, definisi yang beliau buat adalah working definition.

Kebenaran yang plural dan tidak mutlak satu di antara keyakinan agama-agama. Agama-agama adalah ragam jalan menuju satu tujuan”.

Tulisan di atas mengawali presentasi DR. Khalid.

Menurut DR. Khalid al-Walid, ada tiga pola pandang keyakinan beragama;

Eksklusivisme; memandang bahwa hanya agama tertentu saja yang akan selamat. Seluruh pemeluk agama, selain agama tersebut, akan mendapat azab.

Inklusivisme; seluruh keyakinan dan agama adalah benar, karena hal tersebut tidak lebih merupakan bentuk Tajalli Tuhan yang berbeda-beda. Selama pemeluk tersebut berjalan menuju Tuhan, maka dirinya adalah ahli surga.

Pluralisme; seluruh bentuk agama dan keyakinan hanyalah merupakan bentuk penafsiran manusia terhadap kebenaran yang mutlak. Sehingga, seluruhnya berjalan pada arah yang sama dan dapat menggapai kebenaran pada tingkatnya sendiri-sendiri.

Kata DR. Khalid, “Kebenaran Mutlak adalah Tuhan itu sendiri, tetapi kebenaran pada tingkat manusia bersifat relatif dan tidak mutlak. Prinsip dasar Pluralisme adalah, kebenaran Tuhan, ketika sudah turun kepada manusia, menjadi plural. Tidak mutlak”.

Islam dan Pluralisme

Menolak : Islam merupakan agama terakhir dan paling sempurna, mencari agama selain Islam adalah kebatilan dan tidak akan diterima Allah SWT.

Menerima : Agama-agama pada intinya mengajarkan kebaikan. Banyak elemen kesamaan antara agama yang satu dengan agama yang lain, serta Allah tidak akan menzalimi hamba-Nya. Dia akan berlaku adil karenan siapapun yang berbuat kebaikan akan mendapatkan pahala dan siapapun berbuat kejahatan akan mendapatkan azab.

Argumentasi pluralis Islam;

1. Rahmat Ilahi : Bagaimana mungkin rahmat Ilahi hanya meliputi segolongan kecil manusia semata (hanya Syi’ah) yang selamat, sementara semua yang lain dalam keadaan celaka.

2. “Tidak seorang pun dari Ahli Kitab kecuali mereka akan beriman sebelum kematiannya dan pada hari kiamat (Isa a.s) akan menjadi saksi bagi mereka”. (QS 4 : 159).

3. “Sesungguhnya orang-orang beriman dan orang-orang yang mendapat petunjuk, kaum Nashrani dan Shabiin yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta beramal sholeh, maka bagi mereka akan mendapatkan ganjaran dari sisi Tuhan mereka dan tidak sedikitpun ada ketakutan dan kekhawatiran pada mereka” (QS 2 : 62).

Bantahan terhadap argumentasi kaum pluralis Islam;

1. Hidayah Ilahi terbagi ke dalam 2 bagian : Takwini dan Tasyri’i. Hidayah Ilahi yg bersifat Takwini berlaku untuk semua makhluk tanpa peduli agama dan perilaku yang muncul dari mereka. Sedangkan Hidayah dalam konteks Tasyri’i merupakan bentuk yang diturunkan Allah SWT melalui nabi-Nya dalam sistem jalan kehidupan untuk mencapai kesempurnaan. Seorang manusia hanya dapat mengikuti Hidayah Tasyri’i ini sekiranya dia mengikuti sistem yang telah ditetapkan Allah SWT melalui nabi-Nya.

2. Ayat tersebut berbicara tentang keadaan kaum Nashrani di akhir zaman ketika Nabi Isa a.s. dimunculkan kembali oleh Allah SWT.

3. Iman kepada Allah memiliki beberapa keharusan a.l : A). Beriman kepada para utusan Allah SWT dan apa dibawanya, B). Keimanan tidak hanya bernama Islam/muslim akan tetapi hakikat keimanan kepada Allah SWT dan Hari Akhir, C). Banyak ayat al-Qur’an lainnya yang ditujukan bagi orang-orang Yahudi dan Nasrani yang tidak beriman kepada Rasulullah maka mereka masuk dalam kategori orang yang akan diazab Allah SWT. (QS 19 : 88-99).

Selanjutnya, masih dalam rangka kritik terhadap prinsip Pluralisme, DR. Khalid mengakhiri argumentasinya dengan mengutip uraian pemikir Syiah par excellence, Murtadha Muthahhari, sebagai berikut;

“Untuk diterimanya amal baik, seseorang harus memenuhi beragam syarat, antara lain : a). Beriman kepada Allah dan Hari Akhir, b). Amal tersebut dipersembahkan hanya untuk Allah SWT (Ikhlas), c). Tunduk kepada kebenaran dalam ketundukan Qalbiyyah. (QS 26 : 84)”.

Pendapat Muthahhari tersebut, tentu saja, beliau kutip dari Keadilan Ilahi, yang kini diterbitkan lagi oleh MIZAN.

Kritik 

Itulah uraian dan bantahan yang dibuat oleh DR. Khalid dalam slide presentasinya. Saya sadar, boleh jadi, beliau masih punya banyak argumen untuk menolak Pluralisme. Namun, ketika suatu wacana telah dilepas ke publik, maka ia menjadi konsumsi publik yang sah untuk disetujui atau tidak. Dalam konteks ini, kritik yang saya ajukan merupakan refleksi balik dari argumen-argumen di atas, bukan argumen-argumen lain yang “mungkin” ada.

Dalam kritik berikut, saya tidak membatasi diri untuk mengkritik dalil-dalil yang digunakan untuk menolak Pluralisme, namun—bahkan—dalil afirmasinya.

Secara general, ada empat kritik yang saya ajukan sebagai refleksi pemikiran saya atas elaborasi dan dalil-dalil negatif ataupun afirmatif di atas, yang bisa disederhanakan sebagai berikut;

Pertama, Logika Daur (siklus); membangun argumen pluralisme dari Islam. Ini jelas tak masuk akal. Ide Pluralisme—bahkan dalam definisi yang ditawarkan oleh DR. Khalid—melampaui dan menembus sekat-sekat yang memisahkan agama-agama. Islam adalah salah satu dari sekian agama dan kepercayaan yang ada, terlepas bahwa kita sebagai muslim—sekali lagi, “sebagai muslim”—meyakini Islam bersifat transenden. Dalam diskursus Pluralisme, Islam adalah “agama”. Pluralisme dibangun, salah satunya, untuk mengafirmasi keselamatan bagi pemeluk agama lain, dan menghilangkan klaim kebenaran eksklusif agama tertentu. Oleh karena itu, argumen Pluralisme seharusnya digali dan dibangun dari prinsip-prinsip logika yang disepakati bersama, bukan diambil dari dalil-dalil agama tertentu. Jika ditanya, “Prinsip-prinsip logika yang mana?”, “Disepakati oleh siapa?”....dst, itu adalah problem lain yang tidak bisa didiskusikan di sini.
Dengan demikian, tentu saja, menyajikan dalil-dalil afirmatif atas pluralisme sebagaimana di atas, menjadi sangat kering, rapuh, dan mudah dikritik.

Kedua, Melihat benar dan tidaknya suatu interpretasi berdasarkan logika matematis. Sehingga, validitas kebenaran interpretasi—dalam kerangka pemikiran ini—sebanding dan sama dengan prinsip 1+1 = 2. Itu ukuran primernya. Dengan kata lain, ketika dikatakan “Islam itu benar”, maka “bukan Islam adalah salah”.
DR. Khalid memang tidak jelas sikapnya dalam masalah ini. Namun, penolakannya terhadap poin ini dengan menggunakan sisi kontradiktifnya—paling tidak—mengindikasikan apa yang saya tulis ini. Analogi demikian, bagi saya—jelas—tak comparable. Keduanya memiliki preseden dan anteseden yang berbeda; dalam hal kualitas dan karakter premis.
Seharusnya dijelaskan dulu secara memadai, apakah perbedaan agama-agama itu sifatnya tanaqudhy (kontradiksi absolut), atau tadhadhy (pertentangan)?! Pun saya akui bahwa beliau sempat menyinggung perbedaan antara tanaqudh dengan tadhadh ini, namun beliau tidak melangkah lebih jauh. Hanya sampai situ.

Ketiga, Menjadikan ‘keimanan’ bahwa Nabi membawa jalan pada kesempurnaan sebagai tolak ukur pembanding. Nggak fair dong! 
Dalam konteks Pluralisme ini, “kebenaran” atau “ketidak-benaran” agama-agama lain tidak bisa dinilai dari perspektif agama yang kita anut, sebaliknya, agama yang kita anut tidak bisa diukur dan dinilai dari agama lain. Menilai agama-agama yang ada, dalam konteks ini—sekali lagi, “dalam konteks ini”—haruslah dengan “memandang” agama-agama itu dari luar, bukan dari dalam. Memang, harus diakui cara demikian dapat mengabaikan banyak faktor penting, seperti “pengalaman beragama” yang sifatnya sangat subjektif-individual dan kompleks. Hanya saja, harus saya tegaskan untuk yang ketiga kalinya, cara ini digunakan untuk menilai agama-agama secara bijak “dalam konteks Pluralisme”. “Dalam konteks Pluralisme”, sebagai kensekwensi logis dari premis-premis primordial sebelumnya.

Keempat, Mengabaikan perdebatan soal makna dan fungsi “agama”. Masalah ini seharusnya menjadi titik awal bagi seluruh perdebatan di atas.
apa itu agama?”, “mengapa agama?”..
Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas seharusnya dituntaskan terlebih dahulu. Apalagi pertanyaan semacam itu termasuk di antara bagian terpenting dalam isu-isu yang diusung dan diperdebatakan di dalam Kalam Jadid (teologi modern). Selama poin ini diabaikan, dalam hemat saya, perdebatan di atas terasa ganjil dan dan jelas tidak memuaskan.

Itulah kritik singkat saya atas kritik DR. Khalid al-Walid (Naqd al-Naqd). Saya akui, kritik yang saya bangun ini bernada dialektikal. Sebagaimana ungkap M. Baqir al-Shadr, dalil-dalil dialektis tidak dapat memberikan keyakinan dan pengetahuan yang memadai. Oleh sebab itu, kritik-kritik yang saya ajukan ini pada dasarnya hanya sebuah upaya “mempertanyakan” keabsahan dalil-dalil yang digunakan oleh DR. Khalid.

Betapa pun saya “belum” bisa menyetujui prinsip Pluralisme sebagaimana dikonsepsikan oleh sebagian kalangan, saya percaya ada cara lain yang bisa dilakukan untuk menuju dialog yang lebih sehat dan cerdas. 

Wa-Allahu a’lam


 
©2009 bismiLLah | by TNB