Antara Harapan dan Kecepatan

Sebagai manusia normal (?!), rasa-rasa dongkol dalam hati memang selalu ada dan mengada..

Kadang, terdapat kesenjangan antara Harapan dan Kecepatan. Maksudnya?? Apa yang kita harapkan tidak lekas terkabul secepat yang kita inginkan. Inilah yang aku alami sekarang. Bagaimana tidak?? Pengen banget download film lama, Warriors of Heaven and Earth, yang dibintangi oleh Vicky Zhao Wei.. namun apalah daya?!Torent begitu kebluk (lambat) tak kenal perasaan dan kesabaran!! Celakanya, tampilan di Indowebster juga berubah! Praktis,pupus sudah harapan..

Tampak sudah, antara Harapan dan Kecepatan --kadang-- ada dinding-dinding yang memisahkannya.

Yang pasti, ntar sore mudik lebaran...

wa-Allahu a'lam

Delete Abadi

Pernahkah terfikir di benak kalian bahwa file-file penting kita bisa dibajak orang lain sebab keteledoran kita?

Maksudnya begini, kadang kita sudah merasa aman telah "membumi-hanguskan" file-file privat kita. Lalu, tanpa ragu dan kikuk, flashdisk atau harddisk (plus Laptop or PC-nya) --misalnya-- kita jual, dengan asumsi di dalamnya sudah tak ada lagi file-file berharga kita.

Nah, di situlah sumber masalahnya!

Ada banyak software yang berfungsi untuk "membangkitkan kembali" file-file yang telah terkubur dan lenyap. Misalnya,  ada "Get Data Back", "UnDelete Plus", atau --meski tidak begitu hebat-- dalam paket  TuneUp Utilities 2009 terdapat "TuneUp Undelete", dan lain sebagainya.

Software-software semacam itu memang sangat positif, di satu sisi, namun di sisi lain, ia dapat dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tak bertanggung jawab.

Untuk kasus di atas, tentu saja privasi kita terusik. Bagaimana tidak, lha wong database or file-file privat kita bisa dinikmatin orang lain?!

Solusinya?? sebagai upaya preventif, teman-teman bisa memanfaatkan aplikasi Wiping untuk mendelete secara permanen. Saya menyebutnya, "Delete Abadi". Tentu saja, file yang didelete oleh Wiping tak bisa di-restore atau "dibangkitkan kembali". So, pikir-pikir dulu yah kalau mau delete...

Caranya?? Kalau softwarenya sudah diinstall, tinggal Klik Kanan file yang mau didelete, lalu pilih "Delete with wiping". Insya Allah, file itu tak kan bisa di-restore.

Semoga bermanfaat.

Kalau berminat, donwload softwarenya di sini.

wa-Allahu a'lam.

DR.Khalid al-Walid dan Pluralisme; Kritik atas Kritik

Pelatihan Kader Muballigh Ahlul Bait Nasional Angkatan 1 yang diselenggarakan oleh Yayasan Dana Mustadhafin bekerja sama dengan ICC dan STAI MI, di Aula STAI MI beberapa bulan yang lalu itu ditutup pada Sabtu, 28 Maret 2009.

Tema yang diusung pada penghujung pelatihan itu, bagi saya, cukup menarik, yaitu soal Pluralisme Agama dan Hermeneutika. Tema ini dibawakan oleh DR. Khalid al-Walid. Namun, karena ada “perampingan” waktu, mau tidak mau pemateri harus mempersingkat presentasinya. Karena tema ini dirasa cukup urgen, pemateri memilih menyampaikan satu tema saja namun tuntas, dari pada dua tema tapi tanggung. DR. Khalid memilih tema Pluralisme Agama. Kebetulan yang ditunjuk sebagai moderator dan notulis pada waktu itu adalah saya.

Sebagai notulis, biasanya—seperti pada hari-hari sebelumnya—saya diminta untuk membuat resume secukupnya dari uraian para pemateri. Namun, pada kesempatan terakhir itu saya tidak menjalankan tugas saya dengan baik. Entah, tema itu begitu menarik bagi saya. Sehingga, saya terpaku mencermati uraian dan argumen-argumen DR. Khalid dalam menolak prinsip Pluralisme Agama. Saya mencoba mendialogkan apa yang ada di dalam benak saya, dengan apa yang saya dengar, lihat, dan alami saat itu. Tentu saja dialog-individual saya bersifat pasif, sebab, sebagai moderator dan notulis, saya tidak bisa nimbrung diskusi tak ubahnya peserta pelatihan.
Resume yang saya buat untuk uraian DR. Khalid cukup singkat. Anehnya, ternyata saya lebih disibukkan untuk menuliskan keberatan-keberatan dan kritik saya atas argumentasi dan sanggahan DR. Khalid terhadap gagasan Pluralisme. Dari situlah lahir Kritik atas Kritik secara reflektif.

Saya akan ikuti definisi Pluralisme yang dirumuskan oleh DR. Khalid. Sebab, lucu jika saya mengkritik argumen-argumen penolakan beliau, namun pada saat yang sama, konsep Pluralisme yang kita pahami berbeda. Saya menduga, definisi yang beliau buat adalah working definition.

Kebenaran yang plural dan tidak mutlak satu di antara keyakinan agama-agama. Agama-agama adalah ragam jalan menuju satu tujuan”.

Tulisan di atas mengawali presentasi DR. Khalid.

Menurut DR. Khalid al-Walid, ada tiga pola pandang keyakinan beragama;

Eksklusivisme; memandang bahwa hanya agama tertentu saja yang akan selamat. Seluruh pemeluk agama, selain agama tersebut, akan mendapat azab.

Inklusivisme; seluruh keyakinan dan agama adalah benar, karena hal tersebut tidak lebih merupakan bentuk Tajalli Tuhan yang berbeda-beda. Selama pemeluk tersebut berjalan menuju Tuhan, maka dirinya adalah ahli surga.

Pluralisme; seluruh bentuk agama dan keyakinan hanyalah merupakan bentuk penafsiran manusia terhadap kebenaran yang mutlak. Sehingga, seluruhnya berjalan pada arah yang sama dan dapat menggapai kebenaran pada tingkatnya sendiri-sendiri.

Kata DR. Khalid, “Kebenaran Mutlak adalah Tuhan itu sendiri, tetapi kebenaran pada tingkat manusia bersifat relatif dan tidak mutlak. Prinsip dasar Pluralisme adalah, kebenaran Tuhan, ketika sudah turun kepada manusia, menjadi plural. Tidak mutlak”.

Islam dan Pluralisme

Menolak : Islam merupakan agama terakhir dan paling sempurna, mencari agama selain Islam adalah kebatilan dan tidak akan diterima Allah SWT.

Menerima : Agama-agama pada intinya mengajarkan kebaikan. Banyak elemen kesamaan antara agama yang satu dengan agama yang lain, serta Allah tidak akan menzalimi hamba-Nya. Dia akan berlaku adil karenan siapapun yang berbuat kebaikan akan mendapatkan pahala dan siapapun berbuat kejahatan akan mendapatkan azab.

Argumentasi pluralis Islam;

1. Rahmat Ilahi : Bagaimana mungkin rahmat Ilahi hanya meliputi segolongan kecil manusia semata (hanya Syi’ah) yang selamat, sementara semua yang lain dalam keadaan celaka.

2. “Tidak seorang pun dari Ahli Kitab kecuali mereka akan beriman sebelum kematiannya dan pada hari kiamat (Isa a.s) akan menjadi saksi bagi mereka”. (QS 4 : 159).

3. “Sesungguhnya orang-orang beriman dan orang-orang yang mendapat petunjuk, kaum Nashrani dan Shabiin yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta beramal sholeh, maka bagi mereka akan mendapatkan ganjaran dari sisi Tuhan mereka dan tidak sedikitpun ada ketakutan dan kekhawatiran pada mereka” (QS 2 : 62).

Bantahan terhadap argumentasi kaum pluralis Islam;

1. Hidayah Ilahi terbagi ke dalam 2 bagian : Takwini dan Tasyri’i. Hidayah Ilahi yg bersifat Takwini berlaku untuk semua makhluk tanpa peduli agama dan perilaku yang muncul dari mereka. Sedangkan Hidayah dalam konteks Tasyri’i merupakan bentuk yang diturunkan Allah SWT melalui nabi-Nya dalam sistem jalan kehidupan untuk mencapai kesempurnaan. Seorang manusia hanya dapat mengikuti Hidayah Tasyri’i ini sekiranya dia mengikuti sistem yang telah ditetapkan Allah SWT melalui nabi-Nya.

2. Ayat tersebut berbicara tentang keadaan kaum Nashrani di akhir zaman ketika Nabi Isa a.s. dimunculkan kembali oleh Allah SWT.

3. Iman kepada Allah memiliki beberapa keharusan a.l : A). Beriman kepada para utusan Allah SWT dan apa dibawanya, B). Keimanan tidak hanya bernama Islam/muslim akan tetapi hakikat keimanan kepada Allah SWT dan Hari Akhir, C). Banyak ayat al-Qur’an lainnya yang ditujukan bagi orang-orang Yahudi dan Nasrani yang tidak beriman kepada Rasulullah maka mereka masuk dalam kategori orang yang akan diazab Allah SWT. (QS 19 : 88-99).

Selanjutnya, masih dalam rangka kritik terhadap prinsip Pluralisme, DR. Khalid mengakhiri argumentasinya dengan mengutip uraian pemikir Syiah par excellence, Murtadha Muthahhari, sebagai berikut;

“Untuk diterimanya amal baik, seseorang harus memenuhi beragam syarat, antara lain : a). Beriman kepada Allah dan Hari Akhir, b). Amal tersebut dipersembahkan hanya untuk Allah SWT (Ikhlas), c). Tunduk kepada kebenaran dalam ketundukan Qalbiyyah. (QS 26 : 84)”.

Pendapat Muthahhari tersebut, tentu saja, beliau kutip dari Keadilan Ilahi, yang kini diterbitkan lagi oleh MIZAN.

Kritik 

Itulah uraian dan bantahan yang dibuat oleh DR. Khalid dalam slide presentasinya. Saya sadar, boleh jadi, beliau masih punya banyak argumen untuk menolak Pluralisme. Namun, ketika suatu wacana telah dilepas ke publik, maka ia menjadi konsumsi publik yang sah untuk disetujui atau tidak. Dalam konteks ini, kritik yang saya ajukan merupakan refleksi balik dari argumen-argumen di atas, bukan argumen-argumen lain yang “mungkin” ada.

Dalam kritik berikut, saya tidak membatasi diri untuk mengkritik dalil-dalil yang digunakan untuk menolak Pluralisme, namun—bahkan—dalil afirmasinya.

Secara general, ada empat kritik yang saya ajukan sebagai refleksi pemikiran saya atas elaborasi dan dalil-dalil negatif ataupun afirmatif di atas, yang bisa disederhanakan sebagai berikut;

Pertama, Logika Daur (siklus); membangun argumen pluralisme dari Islam. Ini jelas tak masuk akal. Ide Pluralisme—bahkan dalam definisi yang ditawarkan oleh DR. Khalid—melampaui dan menembus sekat-sekat yang memisahkan agama-agama. Islam adalah salah satu dari sekian agama dan kepercayaan yang ada, terlepas bahwa kita sebagai muslim—sekali lagi, “sebagai muslim”—meyakini Islam bersifat transenden. Dalam diskursus Pluralisme, Islam adalah “agama”. Pluralisme dibangun, salah satunya, untuk mengafirmasi keselamatan bagi pemeluk agama lain, dan menghilangkan klaim kebenaran eksklusif agama tertentu. Oleh karena itu, argumen Pluralisme seharusnya digali dan dibangun dari prinsip-prinsip logika yang disepakati bersama, bukan diambil dari dalil-dalil agama tertentu. Jika ditanya, “Prinsip-prinsip logika yang mana?”, “Disepakati oleh siapa?”....dst, itu adalah problem lain yang tidak bisa didiskusikan di sini.
Dengan demikian, tentu saja, menyajikan dalil-dalil afirmatif atas pluralisme sebagaimana di atas, menjadi sangat kering, rapuh, dan mudah dikritik.

Kedua, Melihat benar dan tidaknya suatu interpretasi berdasarkan logika matematis. Sehingga, validitas kebenaran interpretasi—dalam kerangka pemikiran ini—sebanding dan sama dengan prinsip 1+1 = 2. Itu ukuran primernya. Dengan kata lain, ketika dikatakan “Islam itu benar”, maka “bukan Islam adalah salah”.
DR. Khalid memang tidak jelas sikapnya dalam masalah ini. Namun, penolakannya terhadap poin ini dengan menggunakan sisi kontradiktifnya—paling tidak—mengindikasikan apa yang saya tulis ini. Analogi demikian, bagi saya—jelas—tak comparable. Keduanya memiliki preseden dan anteseden yang berbeda; dalam hal kualitas dan karakter premis.
Seharusnya dijelaskan dulu secara memadai, apakah perbedaan agama-agama itu sifatnya tanaqudhy (kontradiksi absolut), atau tadhadhy (pertentangan)?! Pun saya akui bahwa beliau sempat menyinggung perbedaan antara tanaqudh dengan tadhadh ini, namun beliau tidak melangkah lebih jauh. Hanya sampai situ.

Ketiga, Menjadikan ‘keimanan’ bahwa Nabi membawa jalan pada kesempurnaan sebagai tolak ukur pembanding. Nggak fair dong! 
Dalam konteks Pluralisme ini, “kebenaran” atau “ketidak-benaran” agama-agama lain tidak bisa dinilai dari perspektif agama yang kita anut, sebaliknya, agama yang kita anut tidak bisa diukur dan dinilai dari agama lain. Menilai agama-agama yang ada, dalam konteks ini—sekali lagi, “dalam konteks ini”—haruslah dengan “memandang” agama-agama itu dari luar, bukan dari dalam. Memang, harus diakui cara demikian dapat mengabaikan banyak faktor penting, seperti “pengalaman beragama” yang sifatnya sangat subjektif-individual dan kompleks. Hanya saja, harus saya tegaskan untuk yang ketiga kalinya, cara ini digunakan untuk menilai agama-agama secara bijak “dalam konteks Pluralisme”. “Dalam konteks Pluralisme”, sebagai kensekwensi logis dari premis-premis primordial sebelumnya.

Keempat, Mengabaikan perdebatan soal makna dan fungsi “agama”. Masalah ini seharusnya menjadi titik awal bagi seluruh perdebatan di atas.
apa itu agama?”, “mengapa agama?”..
Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas seharusnya dituntaskan terlebih dahulu. Apalagi pertanyaan semacam itu termasuk di antara bagian terpenting dalam isu-isu yang diusung dan diperdebatakan di dalam Kalam Jadid (teologi modern). Selama poin ini diabaikan, dalam hemat saya, perdebatan di atas terasa ganjil dan dan jelas tidak memuaskan.

Itulah kritik singkat saya atas kritik DR. Khalid al-Walid (Naqd al-Naqd). Saya akui, kritik yang saya bangun ini bernada dialektikal. Sebagaimana ungkap M. Baqir al-Shadr, dalil-dalil dialektis tidak dapat memberikan keyakinan dan pengetahuan yang memadai. Oleh sebab itu, kritik-kritik yang saya ajukan ini pada dasarnya hanya sebuah upaya “mempertanyakan” keabsahan dalil-dalil yang digunakan oleh DR. Khalid.

Betapa pun saya “belum” bisa menyetujui prinsip Pluralisme sebagaimana dikonsepsikan oleh sebagian kalangan, saya percaya ada cara lain yang bisa dilakukan untuk menuju dialog yang lebih sehat dan cerdas. 

Wa-Allahu a’lam


Nggak bisa install win. XP SP2 di HP 520??

Bagi teman-teman yang gak tau banyak soal instalasi Laptop ataupun PC, boleh jadi satu di antara kalian ada yang pernah mengalami nasib seperti yang pernah saya alami.

Waktu itu, karena ulah virus-virus genit, terpaksa Laptop saya harus reinstall. Saya termasuk pengguna XP SP2, bukan SP3. Sebab, dengar-dengar, SP3 agak problematik.

Saat instalasi XP SP2, ada suatu “kejanggalan”. Yaitu, saat proses copy data udah selesai, Hardisk gak terdeteksi. Otomatis, proses instalasi tidak bisa dirampungkan. Dengan kata lain, gak bisa diinstall.

Aneh bukan?? Kasus itu ditandai dengan munculnya tulisan semacam ini;

Anda mungkin akan pusing dibuatnya, seperti saya kala itu.

Dulu, saya sudah coba hubungi banyak teman. Jawaban mereka juga variatif. Ada yang bilang, mungkin Hardisknya rusak, ada juga yang menuduh BIOS-nya teler.

Saya yang sudah kualahan ngadepin kasus itu, gak mau ambil pusing (sebetulnya sih udah pusing!). Saya meluncur nenteng Laptop saya ke HP Service Center di Mangga Dua, Jakarta.
Seusai saya ceritakan kasusnya, kata operator, mungkin Hardisknya lemah. Saya bilang gak ada masalah dengan Hardisk. Udah saya diagnosis.Titik akhir dari dialog itu, operator menyarankan untuk reinstall. Mau tidak mau harus saya iya-kan.

Yang ganjil bagi saya, mengapa pada form yang saya isi, kasus yang tertulis di situ adalah “Install Ulang”. Bukan yang lain.

2 jam setelah itu, semua beres. Saya tanya, kenapa waktu saya install sendiri tidak bisa? Operator gak mau kasih jawaban.

Seminggu setelah itu, tidak sengaja saya menekan Setting Defaults. Entah, tiba-tiba laptop saya gak bisa booting. Mbulet pokoknya. Karena tak tau banyak, saya berinisiatif untuk install ulang.
Saya kaget luar biasa. Kasus yang sama terulang kembali. Hardisk kagak kebaca! 
Sebetulnya, saya punya rencana untuk kembali ke Service Center. Tetapi, sebelum rencana itu saya luluskan, saya ada keperluan untuk kirim mail ke salah satu teman yang sedang studi di Malang. Saat itu saya coba tulis di Google, “problem booting”. Cuman iseng aja. Gak taunya, saya dapat jawaban dari problem yang saya hadapin waktu itu. Thank’s Boy!

Ternyata mudah kawan!

Kalau di antara kalian ada yang mengalami nasib yang sama, ikuti langkah-langkah berikut:

Pada saat booting pertama di Laptop HP 520 tekan tombol F10, masuk ke settingan BIOS di TAB System Configuration -> SATA Native Mode -> Disabled.
Trus simpan di menu File -> Save Changes and Exit, lalu tekan F10 untuk yes.

Beres sudah. Mudah bukan?! Setelah itu proses instalasi akan berjalan normal.

Mengapa Hardisk bisa gak kebaca? Ternyata win. XP SP2 tidak support SATA. Jadi, harus diubah dulu settingan Hardisk, dari SATA RAID ke IDE, dengan langkah-langkah seperti di atas.
Ternyata, batas antara “tau” dengan “tidak tau” sangat tipis bukan??.

Wa-Allahu a’lam.


Supir Angkot

Siang itu, di tengah-tengah terik matahari yang begitu menyengat, aku duduk terdiam di kursi angkot (Angkutan Umum) bagian depan. Di sebelah kananku tempat Pak Supir.

Mulanya, aku mengira ia tak beda dengan kebanyakan supir lainnya. Apalagi, kesan-kesan awal membenarkan hal itu. Ia sering emosi ketika pengguna jalan yang lain mendahuluinya, atau saat pengendara motor pencet-pencet klakson secara tak etis dari belakang. Aku sadar, Pak Supir sangat beralasan untuk emosi. Penampilan dan style-nya juga tak beda dari kebanyakan supir lain. Hanya saja, itu semua adalah tampilan luar.

Angkot berjalan normal. Cuaca yang panas dan gerah masih seperti semula. Tiba-tiba, tak terasa angkot 102 yang kita tunggangi sudah sampai Cinere. Pada satu titik kawasan sebelum Mal Cinere, ada area proyek pembangunan. Aku hanya melihat-lihat. Usai itu, aku mencoba ramah dan dialog dengan Pak Supir.

“Ini (proyek pembangunan) mau dibikin apa, Bang??”
“Carrefour, Mas...”

Tak lama berselang, Pak Supir melanjutkan percakapannya. Kebetulan juga, tepat di belakang persis Pak Supir ada seorang Ibu yang juga vokal dan suka nyambung obrolan. Kata Pak Supir, tak lama lagi jalan dari Cinere sampai Parung Bingung akan dilebarkan. Kalau gak salah, kanan dan kiri jalan akan ditambah 8 m. Ia juga bilang bahwa dari Depok sampai Lebak Bulus—lewat jalur Kebayoran—akan dibuat tol, sebagaimana dari Depok sampai Citayam akan dibikin tol juga. Anehnya, saat pengukuran oleh petugas sudah dijalankan beberapa bulan yang lalu, kini patokan-patokan itu dicabutin lagi. Tak tau, apakah pelebaran jalan urung dilakukan, atau entah apa.

Dalam taksiran Pak Supir, pelebaran jalan dari Cinere ke Parung Bingung—jika direalisasikan—paling cepat memakan waktu 8 bulan. Ia menggunakan analaogi dalam klaim itu. Katanya juga, kawasan itu nanti akan dijadikan sarang perkantoran, mengingat letaknya yang strategis.

Sampai di sini, Pak Supir baru mencermati keadaan realitas sekitar yang menghimpitnya. Selanjutnya, ia melakukan komparasi dengan keadaan zaman dulu, masih dalam lingkup teritorial yang sama, yakni Indonesia.

Kata dia, di zaman Soekarno dulu, pembangunan merata, walau harus diakui tingkat kemajuan yang dicapainya tidak secemerlang era Soeharto dan sekarang. Itu lebih baik dari pada sentralisasi seperti sekarang. “Pejabat-pejabat sekarang”, lanjutnya, “pada berebut kedudukan, popularitas, dan harta”. Jadi, wajar jika kesejahteraan rakyat tak begitu dipedulikan. Rakyat sengsara.

Kondisi demikian, menyeret sebagian rakyat jelata berlaku curang dalam transaksi jual-beli. Misalnya, di daerah Pak Supir sendiri, Parung Bingung, rata-rata minyak tanah dibanderol dengan harga 9 ribu/lt. Hanya saja, ada keganjilan tersendiri. Menurutnya, minyak tanah di warung-warung itu, kebanyakan berwarna agak ungu, dan berbau tak ubahnya solar. Jika benar bahwa itu adalah solar, atau paling tidak, dicampur dengan solar, maka keuntungan yang mereka dapat adalah dua kali lipat. Sebab, harga solar 4 ribu. Itu adalah contoh kecurangan dari kalangan bawah. Rasanya, genap sudah permainan curang dari elit atas sampai kalangan bawah di Negeri ini. Tiba-tiba, saya teringat sabda Rasul, “man gasysyana fa laisa minna”, tukang tipu itu bukan bagian dari Kami!

Pak Supir masih belum berhenti berkisah. Kata dia, bahkan habib-habib yang melayani pengobatan masyarakat, yang mana mereka adalah sosok panutan masyarakat awam—sudah banyak di antara mereka yang tak punya harga diri. Untuk kasus pengobatan, ada di antara mereka yang pasang harga begitu tinggi, sehingg rakyat miskin tak bisa nyuwun pertolongan kepada mereka. Gilanya lagi, ada pasien yang sudah menikah bertahun-tahun dan belum punya anak, lalu mencoba “konsultasi” ke si Habib, eh malah istri si pasien dicabuli. Gila! “Iman-Islam mereka hanya dibuat kedok, Mas!”, kata Pak Supir kepada saya menilai para habib itu. Aku tak tau, valid atau tidak informasi yang ia sampaikan itu. Yang pasti, itu menunjukkan keprihatinan yang mendalam dari seorang supir atas apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya.

Cuaca tak panas lagi. Gelap. Aneh, tiba-tiba hujan lebat. Tapi itu lebih baik dari pada cuaca panas yang tak bosan-bosannya memeras keringatku.

Aku pikir Pak Supir sudah kehabisan wacana. Ternyata tidak. Ia menerobos sekat-sekat yang memisahkan antar negara di kawasan Asia Tenggara. Ia mencoba melakukan komparasi keadaan ekonomi-sosial beberapa negara di Asia Tenggara dengan Indonesia.

Kata dia, di Malaysia dan Singapura tak ada angkot semacam ini. Tentu yang ia maskud adalah angkot 102 yang ia tarik (kemudikan). Ia menuturkan kesejehteraan sosial di dua negara teresebut dengan apik, padahal dulu “Malaysia itu lebih miskin dari kita”, ujarnya. Walau dengan jujur ia akui, bahwa warga Malaysia kebanyakan disiplin.

Aku sendiri banyak lupa poin apa saja yang singgung dari dua negara tersebut. Aku mulai berfikir bahwa Pak Supir ini dulunya adalah mantan TKI.
Belum selesai aku melayang-layang dalam fikiranku, Pak Supir tiba-tiba berbicara seputar keadaan ekonomi-sosial di Philipina.

Ia bertutur, di Philipina keadaan perdesaannya tak jauh beda dengan kita. Bahkan, malah ada yang lebih miskin. Kalau di Philipina, angkot-angkotnya tak beda dengan kita di sini, bahkan lebih jelek. Kebanyakannya adalah mobil 2 tak, atau angkutan air [perahu kecil].

Aku mulai kagum dengan uraian Pak Supir. Belum selesai aku terpesona, “Hanya saja Mas, kalau di masyarakat di Philipina—bedanya dengan kita—masih banyak yang menganut animisme dan dinamisme”, ujarnya. Aku kaget, dari mana Pak Supir tau sampai titik itu? Belum selesai aku berfikir, ia melanjutkan, “Kalau di Kita, ya seperti di Nias, atau yang deket sini, di Ujung Kulon”. Aku terperanjat, bagaimana Pak Supir ingat betul beberapa titik geografis di Indonesia yang penduduknya masih memeluk animisme? Itu ada di pelajaran SLTP. Bahkan, “Nias” adalah nama daerah yang telah lama lenyap dari memoriku. Aku kembali ingat nama itu lewat uraian Pak Supir tadi.

Pak Supir masih terus berkisah. Tapi sayang, aku sudah sampai tujuan. Mau tak mau, aku harus meninggalkan Pak Supir itu dan membiarkannya bercerita kepada Ibu-Ibu yang duduk persis di belakangnya.

Yang patut disesalkan, aku lupa beberapa nama daerah yang ia singgung dalam perbincangan itu, baik di dalam maupun di luar negeri. Sehingga, apologized, aku tidak dapat menarasikan pengetahuan Pak Supir tadi!

Siang itu, aku merasa begitu bahagia! Tak dapat aku deskripsikan rasa yang menyelimuti hatiku saat itu. Aku bahagia karena bertemu dengan Pak Supir yang beda dari yang lain. Supir yang menjalani profesinya sebagai supir angkot, namun tetap memiliki kepedulian dan pengetahuan yang cukup.

Betapa pun tidak seluruh yang ia bicarakan dapat aku setujui, aku tetap bahagia mendapat satu pelajaran menarik dari seorang supir angkot. Semoga ia mendapatkan jalannya.

Terima kasih Tuhan!
Wa-Allahu a’lam.

[sabtu, 30 Mei 09]

Dua Karakter Tak Baik

Hampir-hampir tak ada perdebatan yang berarti di antara para pakar, bahwa yang disebut karakter adalah suatu sifat (malakah) yang terpatri kuat dalam jiwa seseorang, dan dapat melahirkan suatu tindak perbuatan ataupun laku, tanpa didahului oleh suatu rencana maupun pikir. Seolah, karakter dapat melahirkan suatu laku secara otomatis. Tanpa kontrol. Kira-kira begitulah al-Ghazali mendifinisikan akhlaq (ethics); juga al-Jabiri dalam Naqd al-Aql al-Araby seri 4-nya.

Biasanya, mereka membuat gradasi tiga level untuk “sifat”. Kata sifat (shifah) menunjukkan level terendah, diikuti dengan hal, dan dipungkasi dengan malakah. Malakah (habitus) inilah yang selanjutnya menjadi barometer dan tolak ukur primer buat karakter.

Manusia, yang memang unik dan misterius itu, memiliki banyak karakter. Bahkan, kadang paradoks. Lepas dari itu, bagi saya, karakter—baik yang beratributkan “baik” atau “buruk”—kadang menimbulkan keanehan tersendiri. Pada satu titik, kadang membuat saya kesal.
.....
Tak Ramah

Saya tadi berkunjung ke rumah Haidar Bagir, seorang Intelektual Muslim yang kebetulan menjadi pembimbing 1 skripsi saya, di Cinere. Tak ada kepentingan lain selain hanya untuk mengambil tanda tangan beliau untuk revisi skripsi saya. 

Saya tahu dan sadar bahwa Sabtu dan Minggu adalah dua hari yang secara khusus dialokasikan Pak Haidar untuk keluarganya. Maka wajar bila tadi beliau tak ada di rumah. Dan saya cukup beralasan datang ke rumah beliau, karena memang beliau sendiri yang meminta saya mengantarkan surat pengesahan itu ke rumahnya, setelah sebelumnya kita bertemu di MP. Book Point, Cilandak. Tak ada problem untuk soal ini.

Benar, tak ada problem untuk soal tersebut. Tapi ada problem lain. Problem yang kupikir serius; menyangkut soal penghargaan kepada orang lain. Problem yang muncul dari kasus seorang security.

Tadi, waktu aku uluk salam di rumah Pak Haidar, tiba-tiba seorang dengan kaos security datang mengendarai motor. Berlagak dan bergaya tak ubahnya tentara. Dengan badan kekar, wajah bengis, dan tutur kata tak ramah—dilengkapi dengan ekspresi tak bersahabat—ia melempar beberapa pertanyaan kepadaku:

Mau ngapain Mas?”
Mau ketemu Pak Haidar
Iya, mau ngapain? Dari mana? Mau minta sumbangan?

Dialog-dialog tak penting itu aku akhiri dengan, “Saya udah janjian ma Pak Haidar!”. Dengan nada ketus, entah dia tadi jawab apa. Saya lupa. Yang jelas, setelah itu, ia langsung pergi. Tak berselang lama, pembantu Pak Haidar keluar, dan saya pun menitipkan surat pengesahan yang kubawa. Kata beliau, “Pak Haidar ke Cinere Mal sama anak-anak, Mas”.

Ada satu kasus yang bagi saya negatif. Kasus yang dimainkan oleh Pak Security itu. Saya tidak tahu persis, apakah memang dalam dunia ke-satpam-an, untuk konteks tugas sebagai security Perumahan, seorang satpam didesain dan tampil dengan suatu laku tak ramah, raut muka tak bersahabat, dan cara bicara yang tak santun? Apakah satpam harus bersikap demikian saat bertemu “orang luar”? adakah itu memang kode etik satpam? Saya tak berani ambil jawaban, karena memang saya bukan satpam.

Terlepas dari itu, bagi saya, tak sepatutnya satpam bersikap demikian. Akan jauh lebih baik bila bertemu “orang luar”, ia hampiri dengan tutur kata yang manis, muka bersahabat, dan santun. Hal ini, di samping sudah tentu akan menimblkan image yang baik bagi tempat di mana ia kerja, tentu ia merupakan suatu pola dan laku yang dielu-elukan setiap orang. Jika satpam—sebagai mahluk sosial—ingin dihargai orang lain, ia harus berani menyiapkan dan menata diri untuk menghargai orang lain. Jika satpam—sekali lagi; sebagai mahluk sosial—tak merasa perlu dihargai, atau tak ingin dihargai orang lain, bukan berarti ia tak perlu menghargai orang lain. Ia tetap harus menghargai orang lain. Sebab, ketika ia sudah melibatkan dirinya dalam interaksi publik, ia harus siap dengan konsekwensi yang ada; yakni norma. Dalam konteks ini, paradigma “saya akan memberi jika saya diberi/untung” tak relevan dan tak layak pakai. Ia sudah usang. Ia hanya akan melahirkan siklus sesat tak bebobot dan, tentu saja, tak ilmiah.

Di sisi lain, bila hal-hal tersebut kita abaikan, atau anggap saja ia tak urgen, tetap masih ada problem lain yang perlu diperhatikan. Problem yang bagi sebagian orang—termasuk saya, cukup sensitif. Ini menyangkut perasaan orang lain. Saya sendiri, sebagai “korban” dari laku satpam—sebagaimana kisah di atas—merasa seolah diposisikan tak ubahnya pencuri atau peminta-peminta ilegal yang agak memaksa. Ini soal sensitifitas, karena itu ia sangat variatif dan bertingkat. Sikap satpam demikian, tentu akan menimbulkan persepsi dan penilaian yang berbeda bagi sebagian orang, sesuai kondisi psikologis yang sedang mengitari orang yang bersangkutan. Bagi saya, sikap dan laku macam itu hanya akan menimbulkan kebencian dan kekesalam. Memang, di sisi lain, boleh jadi ia dapat meningkatan keamanan wilayah tempat ia bertugas—jika cara demikian dapat diasumsikan memiliki pengaruh yang signifikan. Namun, bagaimana pun, menurut saya, tetap saja sikap dan laku demikian tak layak pakai. Selaiknya dihindari.

Tak Tau Diri

Kata Tak Tau Diri, secara verbal, lebih tepat diartikan sebagai ketidaktahuan akan diri sendiri, atau ketidaktahuan akan konsep diri ideal, atau tidak mengerti bagaimana cara menjadi “diri”. Ini semua hanya taksiran yang saya buat. Tetapi, terma Tak Tau Diri, dalam penggunaannya, lebih sering memunculkan konotasi kurang ajar, atau—secara lebih luasnya—tak beretika. Biarpun bila kita renungkan secara lebih dalam, tak ada permasalahan yang berarti dalam peristilahan ini.

Jika siang tadi saya dibuat kesal oleh sikap dan laku tak ramah seorang satpam, maka maghrib tadi saya dibikin kesal kedua kalinya oleh sikap dan laku seorang bapak-bapak.
Kisahnya begini; seusai shalat Magrib tadi, saya berjalan menuju ke Perumahan BDN, untuk ngambil uang di ATM, dengan suasana batin yang memang agak menyesakkan. Saya sendiri lupa dalam perjalanan tadi apa yang saya pikirkan. Alhasil, saya sampai di tempat.

Banyak orang pada ngantri di sana. Dan di antara mereka semua, posisiku adalah yang terakhir. Satu demi satu dari mereka pergi dan berlalu. Tinggal seorang ibu-ibu di dalam ruangan ATM, ditunggu suaminya di luar. Aku masih menunggu di depan pintu, ngantri. Tiba-tiba ibu itu membuka pintu, aku pun berdiri dari jongkokku. Ternyata salah. Ia Cuma memanggil suaminya, entah karena apa. Nah, tak berselang lama, seorang bapak-bapak dengan anak kecil datang dengan motor. Ia datang sesaat sebelum ibu dan bapak yang di dalam keluar. Aku masih di depan pintu, ngantri. Ibu dengan suaminya itu pun membuka pintu, tanda bahwa mereka telah selesai. Aku pun beranjak berdiri. Sebelum aku tegak berdiri, tiba-tiba bapak-bapak yang baru datang tadi, nylonong begitu saja dan masuk ke dalam ruang ATM. Sedikit pun tak mengindahkanku yang sejak tadi ngantri. Bahkan tak menoleh! Suami ibu-ibu yang sudah keluar tadi memandangiku, seolah ia juga tak menyetujui sikap dan laku bapak-bapak tak tau diri tadi. Setelah itu mereka pun pergi. Aku masih berdiri menunggu bapak-bapak tak disiplin dan tak tau diri tadi. Saat dia selesai dan keluar, justru kejengkelan dan kekesalan maha dahsyat menghampiriku! Bagaimana tidak? Lagi-lagi ia keluar dan berlalu persis saat ia masuk dan nyrobot antrianku! Tak minta maaf atau permisi, bahkan tak noleh!! Ia pergi begitu saja, seolah tak berdosa!! Ya, sedikitpun tak ada ekspresi bersalah atau yang lain. Ia berjalan “dingin” begitu saja! Aku mencoba menahan emosiku dengan mengingat-ingat soal “sabar”. Tak lain selain hanya untuk menundukkan emosiku. 

Aku berjalan pulang. Aku tak habis pikir dengan ulah bapak-bapak tadi. Tiba-tiba aku ingat ulah satpam siang tadi! Genap sudah. Dalam satu hari ini, aku menjumpai dua karakter tak baik. Dua karakter yang memicu rasa kesal dan jengkel. Dua karakter yang ditampilkan oleh para pelakunya dengan ekspresi tak bersalah. Ekspresi tiada berdosa. Ekspresi “tak bermoral”. 

Aku kesal. Ya, aku betul-betul kesal. Dalam kekesalan-ku, aku menyadari memang manusia itu amat misterius. Manusia itu unik. Dalam kekesalan-ku pula muncul keganjilan dalam benak. Aku pun bertanya-tanya, “Tuhan, inikah karya-Mu?!”.
Maha Suci Engkau!!

Senin, 02 Februari 2009.
01.53 am. (kamar yang kumuh!)


NOKIA dan Ideologi (2)


Pada tulisan sebelumnya, saya telah menggariskan semacam ‘postulat’ bagi alur berfikir saya. Yaitu, secara esensial manusia sebagai manusia tidak memiliki relasi dengan “citra”. Dengan kata lain, saya ingin menegaskan bahwa citra –dalam relasinya dengan manusia— bersifat aksdental (bi al-‘aradh). Saya memang tidak mengajukan banyak argumen untuk klaim saya ini, kecuali hanya sekedar yang bisa dibaca pada tulisan sebelumnya. Mengapa? Di samping melelahkan, tentunya, juga karena problem itu sudah pernah digarap oleh generasi klasik. Bagi sebagian orang, seperti saya, pengulangan itu —dalam beberapa hal— kadang membosankan dan menjenuhkan.

Argumen sederhana yang saya ajukan sebelumnya, bahwa ada interaksi dialektis (atau, dialektika interaktif ?!) antara publik yang membentuk citra, dan sikap masyarakat sebagai penerima sekaligus “pembentuk” citra, dapat kita gunakan untuk memahami sikap teman saya, yang telah telah terkontaminasi —ini kesimpulan ‘gegabah’ saya— oleh pola pikir “yah, sayang merknya LG, bukan NOKIA”. 

Afirmasi

Bagaimana membuktikan bahwa citra Nokia telah dibentuk sedemikian rupa oleh media? Jawabannya bisa kita peroleh dari pengamatan langsung realitas di sekitar kita. Paling mudahnya, bisa kita lihat, misalnya, pada koran PULSA. Pada daftar harga hp, kita dapati Nokia menempati urutan pertama. Kemudian, artikel-artikel dan tulisan yang dimuat didalamnya yang me-review hp-hp produk Nokia, turut melengkapi pembentukan citra tersebut.

Jangan disalahpahami. Saya sama sekali tidak menolak fakta bahwa hp-hp produk Nokia dalam beberapa aspeknya, menempati rating paling depan. Misalnya, jika ditilik dari kelengkapan fitur bawaan dan kemudahannya, juga tetek bengek yang lain. Bahwa prestasi-prestasi yang dimiliki Nokia melahirkan apresiasi tersendiri dari masyarakat, adalah sesuatu yang lumrah. Dan bahwa hal itu pula akhirnya membuat media-media yang ada menempatkan Nokia pada garda depan, adalah suatu hal yang rasional. Walau harus tetap ditegaskan bahwa kristalisasi popularitas yang dicapai Nokia tak lepas dari campur tangan media. Sampai titik ini, semua itu bersifat normal dan alamiah.

Lalu apa masalahnya? Nah, pada dasarnya yang saya persoalkan adalah sikap kita dalam menerima citra. Menyikapi citra secara berlebihan dan membuta, yang tentu saja saya anggap tidak rasional, adalah pengabaian dan penumpulan nalar. Diam-diam, keterpesonaan kita terhadap citra menjadi semacam ideologi atau suatu cara pandang tertentu. Pada titik inilah, muncul statement “yah, sayang merknya LG, bukan NOKIA”. Dalam kasus ini, proses “penilaian” (afirmasi dan negasi nilai dari suatu realitas) terjadi secara kosong dan hampa. Penilaian lebih mengikuti dan taklid pada citra, dari pada—misalnya—kualitas esensial. Karena itu pula, sikap “masa bodoh” dapat menemukan akarnya yang kuat dalam cara berfikir demikian. 

Dalam tulisan ini, sama sekali saya tidak memaksudkan bahwa kita dilarang mengikuti dan mengamini suatu citra, atau penerimaan terhadap citra dianggap sebagai sesuatu yang nihil. Sama sekali tidak.

Terakhir, saya percaya, ada kepuasan tersendiri bila kita melibatkan rasio secara optimal dalam menentukan pilihan dan asensi. Wa-Allahu a’lam.

NOKIA dan Ideologi (1)

Saya masih ingat, saat itu seorang teman memberikan komentar singkat kepada saya. Namun, kalimat pendek itu bagi saya mengindikasikan suatu cara pandang tertentu, yang tentu saja ia tak menyadarinya. Setelah tak banyak mengolah pikir, saya bisa ambil konklusi, yang sah saja anda bilang gegabah.


Kisahnya begini, satu atau dua hari setelah teman saya membeli hp 3G produk LG, type KU380, hp tersebut—dengan segenap tetek bengeknya—saya bawa untuk instalasi program bawaannya ke laptop.
Sebelum instalasi, saya menghampiri sekumpulan teman-teman yang lagi asyik mengikuti dan menertawakan aksi-aksi yang ada di Tawa Sutra. Entah gimana ceritanya, waktu itu salah satu dari mereka ada yang tahu saya bawa hp baru yang, tentu saja, adalah milik teman saya. Dialog pun berlangsung antara saya dan dia. Betapa pun singkat, dia menutup dialog kami dengan komentar pendek, “yah, sayang merknya LG, bukan NOKIA”.

Saya tidak menyalahkan sikap yang ia pilih. Tak ada kekecewaan ataupun rasa kesal dalam benak saya atas komentar itu. Lagi pula, itu bukan hp saya. Hanya saja, pernyataan tersebut bagi saya menunjukkan salah satu cara pandang yang dianut oleh seorang teman ini. Saya menduga, dan hampir yakin, ia tak menyadarinya.

Sebetulnya ada banyak pertimbangan untuk membeli produk tertentu, demikian juga dengan hp. Di antaranya; pertimbangan kualitas, style, efisiensi biaya (harga), dan “citra”. Tentu masih ada pertimbangan-pertimbangan lain yang berhak anda cantumkan di sini.
Yang penting bagi saya, dan yang akan saya diskusikan ini adalah soal “citra”. Manusia memang unik, dengan segala kompleksitas yang ada dalam dirinya, ia dapat memilih dan menentukan suatu pilihan secara bebas dan sadar. Manusia—sebagai makhluk publik—punya sikap istimewa terhadap apa yang kita sebut “citra” ini. Perlukah di sini saya definisikan apa itu “citra”? jika mengikuti maksim-maksim Aristotelian tentu definisi itu perlu, betapa pun definisi sendiri memiliki gradasi validitasnya. Tetapi, di sini saya tidak ingin taklid ke Pak Muallim Awal ini. Biarlah saya dianggap “maksiat” melawan ajaran-ajarannya. Saya ingin menyerahkan “citra” sebagaimana terkonsepsikan dalam benak-benak para pembaca. Walau sepenuhnya saya sadar, konsep kita tentang “citra” bisa jadi sangat beragam, bahkan bisa bertentangan. Biarlah. Tertawalah untuk suatu perbedaan yang ada.

Keterkesimaan teman saya kepada NOKIA, menurut saya, muncul dari “citra” yang ada seputar NOKIA. Citra ini muncul dari banyak sebab. Dan yang terpenting bagi saya, citra ini dibentuk dan membentuk suatu cara pandang masyarakat. Yang memiliki peran terbesar dalam membentuk suatu citra adalah media massa, entah televisi, koran, atau yang lain. Tetapi, apa yang diiklankan oleh media massa tak sepenuhnya berhasil ketika tak ada feedback dari masyarakat. Di sini relasi interaktif antar kedua belah pihak (sebagai subjek-objek dan objek-subjek) menimbulkan “kenjlimetan” tersendiri untuk dideskripsikan. “Njlimet” di sini saya maksudkan dalam konteks dan perspektif filosofis, bukan dalam analisis psikologi massa atau pun psikologi media, misalnya. Dalam tataraan filosofis yang saya maksudkan pun tidak sekedar soal perdebatan isu “kausalitas”, atau—yang lebih religius—isu “gerak menuju kesempurnaan”. Namun, jauh melampaui itu semua. Saya sendiri belum punya kata-kata untuk menjelaskannya.

Kembali pada masalah di atas, tadi saya katakan “manusia—sebagai makhluk publik—punya sikap istimewa terhadap apa yang kita sebut “citra” ini”.

Bagi saya, pemberhalaan kita terhadap citra terkait erat dengan publik. Sebab, manusia sebagai manusia (dalam terma filosof Muslim Peripatetik; al-insan bima huwa insan) sama sekali tidak ada hubungannya dengan citra. Apakah seseorang itu mengikuti citra yang dibentuk oleh publik atau tidak, hal itu sama sekali tak akan mengeluarkannya dari dimensi “kemanusiaannya”. Manusia sebagai manusia adalah manusia, bukan satu, banyak, hitam, putih, atau yang lain. Tetapi, “manusia” thok. Tidak ada kaitannya dengan relasi-relasi (nisab [nisbah]) ataupun aneksi (idhafah) dengan realitas eksternal partikular-konkret. Jadi, manusia dari perspektif sebagai manusia tidak ada keharusan baginya untuk mengikatkan dirinya pada suatu citra tertentu. Apapun “warna” yang kita miliki, kita tetap manusia, selama kita masih berada dalam koridor esensi kemanusiaan. Dalam konteks ini, saya tak ingin menceburkan diri saya dalam perdebatan klasik soal esensi dan kuiditas kemanusiaan. Biarlah ia berlalu.
(bersambung..)

Kritik Klasifikasi Hukum Taklifi; melirik ide Jamal al-Banna

Membincang soal hukum Islam memang tak akan pernah kering. Di samping itu, kontroversi-kontroversi yang bergejolak di sekitarnya justru malah membuat perbincangan ini makin berwarna.

Dalam rentetan sejarah Islam yang berlangsung lama, porsi besar yang dilahap kajian mengenai hukum tak dapat dipungkiri. Bahkan, menurut Schacht,
[1] pengaruh hukum dalam pemikiran umat Islam belum pernah tersaingi, selain oleh tasawuf. Boleh jadi, itulah salah satu keunikan hukum Islam.

Konon, ketaatan terhadap hukum berarti ketaatan terhadap “Tuhan” itu sendiri. Terlepas dari benar-tidaknya statement ini, yang jelas karakteristik hukum Islam dalam cakupannya adalah “siapa anda”, bukan “dimana anda”. Itulah salah satu perbedaan signifikan bila dibandingkan dengan hukum positif.

Statement bahwa ketaatan terhadap hukum berarti sama dengan ketaatan terhadap “Tuhan” ini mendapatkan akarnya secara sempurna dalam perilaku keberagamaan masyarakat di sekitar kita. Misalnya, bahtsul masail yang digelar di pesantren-pesantren yang berbasis NU adalah bukti konkritnya. Entah, apakah bahstul masail hanya sekedar untuk “menemukan”, atau bahkan “mencipta” status hukum,
[2] jelas bahwa ia menjustifikasi statement tersebut.

Nah, apa yang kita sebut-sebut sebagai hukum Islam itu tak lain hanyalah sebuah pemahaman. Pemahaman yang merupakan sintesa dari pertempuran seru antara akal dan teks, tanpa menegasikan aspek-aspek lainnya. Karena itulah ia bertitel Fiqh. Walaupun sepenuhnya saya menyadari statement ini masih debatable.

Terlepas dari itu semua, bagaimana sekiranya kita mendengar bahwa klasifikasi hukum Islam yang sudah mapan sekian lama itu, digugat keabsahannya??

Jamal al-Banna

Pemikir gaek asal Mesir, sang negeri piramid ini lahir pada tahun 1920. Jamal adalah putra ahli hadits Mesir, Syaikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna, penulis ensiklopedi hadits Al-Fath al-Rabbany fi Tashnif wa Syarh Musnad Al-Imam Ahmad al-Syaibany, dalam 24 volume. Sejak 1989, Jamal menduda. Jamal adalah adik kandung Hasan al-Banna, mursyid dan pendiri Ikhwanul Muslimin.
[3] Namun demikian, ia berseberangan dengan pemikiran yang diusung oleh jama’ah al-ikhwan, meskipun sebelumnya ia punya hubungan mesra dengan kelompok yang disebut terahir ini. Jamal adalah doktor jebolan Jami’ah Qahirah (Universitas Kairo).[4] Ia tergolong pembaharu dan pemikir Mesir Garda depan yang produktif. Karya-karyanya sangat banyak, baik yang berupa terjemahan maupun tulisan sendiri, yang melebihi seratus buku, termasuk juga muraja’at .[5]

Itulah sketsa singkat biografi Jamal al-Banna. Saya sadar, biografi singkat semacam ini, belum cukup untuk menebak latar belakang pemikirannya (historical background), sehingga kita dapat dengan mudah menebak alur pikirannya nanti. Hanya saja, tulisan ini memang tidak hendak menyoroti lebih jauh. Agaknya laik disinggung juga di sini adalah bahwa Jamal, dulunya, adalah seorang muslim yang mendambakan berdirinya negara Islam, tak ubahnya para islamis kini, tentunya sebelum akhirnya ia mengalami titik balik pemikiran (semacam epifani). Bahkan bersama beberapa jama’ah al-ikhwan, Jamal pernah dijebloskan ke dalam penjara di Tursina pada tahun 1948.
[6] Itulah tokoh kajian kita dalam tulisan ini.

Soal Hukum

Sudah galib kita ketahui bersama, bahwa setiap lini dari perbuatan kita memiliki status hukum tersendiri, dan tentunya ini sudah berlangsung lama. Misalnya, kita dapati Imam al-Syafi’i pernah menyatakan demikian, “Semua persoalan yang terjadi dalam kehidupan seorang Muslim tentu ada hukum yang jelas dan mengikat atau sekurang-kurangnya ada ketentuan umum yang menunjuk kepadanya. Jika tidak, maka ketentuan hukum itu harus dicari dengan ijtihad, dan ijtihad tak lain adalah qiyas”.
[7] Sebenarnya, betulkan demikian adanya??apa saja status hukum itu??inilah yang menjadi keresahan dalam tulisan ini.

Dalam ilmu ushul fiqh, hukm didefinisikan sebagai khithab
[8] Allah yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan seorang mukallaf, baik dalam bentuk iqtidha, takhyir, maupun wadh’. Yang dimaksud dengan khithab adalah sifat atau status yang diberikan oleh Allah terhadap apa pun yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, misalnya, seperti dikatakan “berzina itu haram”, artinya ada status ‘haram’ yang dilekatkan terhadap perbuatan berzina. Iqtidha’ adalah suatu tuntutan dari Allah untuk dikerjakan atau ditinggalkan (al-kaff).[9] Sedangkan takhyir adalah wewenang yang diberikan oleh Allah terhadap seorang mukallaf untuk memilih dua opsi, mengerjakan atau tidak. Kemudian, yang dimaksud dengan wadh’ adalah bahwa Syari’ mengikatkan antara dua hal yang berkaitan dengan seorang mukallaf.[10]

Dengan demikian, dalam terminologi ushul fiqh, hukm adalah substansi nas itu sendiri yang muncul dari Syari’ yang menunjukkan tiga poin di atas. Berbeda dengan kalangan ushuly, di lingkungan fiqh, para fukaha memaknai term hukm dengan pengaruh (atsar) dari khithab-Nya.
[11]

Lain halnya dengan Muhammad Baqir Shadr,
[12] ulama besar syiah ini memaknai hukm sebagai ‘peraturan yang muncul dari Allah untuk mengatur kehidupan manusia’. Khithab syar’i, baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah, tak lain kecuali hanya penjelas hukm, bukan hukm itu sendiri.[13] Sebab, tidak selamanya hukm syar’i berkaitan dengan perbuatan mukallaf, namun terkadang ia juga berkaitan dengan diri mukallaf sendiri ataupun hal lain yang berhubungan dengannya.[14] Sekali lagi, lantaran tujuan dari hukm syar’i adalah mengatur kehidupan manusia.

Dengan demikian, menurut Shadr, hendaknya definisi hukm yang terlanjur populer itu diganti dengan; syariat yang datang dari Allah untuk mengatur kehidupan manusia, baik ia berhubungan dengan perbuatan mereka, diri mereka sendiri, maupun hal-hal lain, tentunya selama masuk dalam bingkai kehidupan.
Seberapa pun para pakar ushul fiqh memiliki perbedaan dalam mendefinisikan hukm, agaknya mereka sepakat dalam membagi hukm, secara garis besar, menjadi dua: hukm taklify dan hukm wadh’iy. Hukum taklify adalah khithab yang memuat nilai iqtidha’ dan takhyir, sementara yang mengandung wadh’ dinamai hukum wadh’iy.

KLASIFIKASI HUKUM TAKLIFI

Kaum Ushuliyyun membagi hukum taklifi menjadi lima:
[15]
v Wajib, yakni apabila tuntutan untuk mengerjakannya berbentuk suatu keharusan (ilzam).
[16]
v Mandub, yaitu tuntutan jika untuk mengerjakannya bukan merupakan keharusan yang pasti.
[17]
v Haram, yaitu apa yang syari’ tetapkan atas seorang mukallaf untuk meninggalkannya dan tidak terdapat dispensasi di dalamnya.
[18]
v Makruh, yakni apabila tuntutan untuk meninggalkanya bukan suatu keharusan yang pasti.
[19]
v Ibahah, yaitu wewenang yang diberikan oleh Syari’ kepada para mukallaf untuk melakukan suatu pekerjaan atau meninggalkannya tanpa adanya tarjih antara keduanya.
[20]


LONTARAN KRITIK

Bila kita perhatikan dengan seksama kutipan Imam Syafi’i di atas, kita dapati adanya suatu keharusan bagi setiap individu Muslim untuk mencari status hukum dari perbuatan dan perilakunya. Oleh karena itu klasifikasi oleh para pakar ushul fiqh terhadap hukum menjadi lima seperti di atas, cukup mewadahi dan menjawab status hukum tertentu dari perbutan mukallaf. Satu hal mendasar yang perlu kita ajukan di sini adalah sebuah pertanyaan “adakah pijakan bagi klasifikasi hukum di atas??”.
[21]

Menjawab pertanyaan tersebut, bagi Jamal Al-Banna, klasifikasi hukum yang ada dalam Islam hanyalah tiga, yakni; halal, haram, dan ‘afw.
[22] Berbeda dengan para pendahulunya yang membagi hukum menjadi lima bagian; halal, haram, sunnah, makruh, dan mubah.
Dalm rangka mendukung opininya, Jamal menyajikan argumen-argumen sebagai berikut:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, (justru) menyusahkan kamu. Jika kamu menanyakannya ketika Al-Qur’an sedang diturunkan, (niscaya) akan diterangkan kepadamu. Allah telah memaafkan (kamu) tentang hal itu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun. Sesungguhnya sebelum kamu telah ada segolongan manusia yang menanyakan hal-hal yang serupa itu (kepada Nabi mereka), kemudian mereka menjadi kafir.”(al- maidah: 101-102).
“Ataukah kamu hendak meminta Rasulmu (Muhammad) seperti halnya Musa (pernah) diminta (Bani Israil) dahulu ? “(al-Baqarah :108).
Ayat-ayat tersebut juga ayat-ayat yang lain (al-An’am : 138- 140,153, al-A’raf : 32,157, al-Maidah : 103, an-Nahl : 116, Yunus : 59) menyiratkan bahwa hal-hal yang diharamkan dan yang dihalalkan oleh Allah telah dijelaskan sedemikian gamblangnya. Dan ayat-ayat tersebut, lanjut Jamal, menjelaskan dua hal besar, pertama, al-Qu’ran mengecam dengan keras orang-orang yang mengharamkan segala hal baik yang dihalalkan oleh Alllah, kedua, al-Qur’an menyerahkan hak penghalalan dan pengharaman hanya kepada Allah semata. Tidak ada partisipasi dari manusia di dalamnya. Bila rasul melaksanakan hal itu, semata-mata itu dalam bingkai tanggung jawab beliau sebagai Rasul dalam menyampaikan risalah.
[23]

Ayat-ayat tersebut menghendaki agar kita melaksanakan apa yang ada dan tidak mencai-cari hal-hal yang memang Syari’ sengaja tidak komentar atasnya. Oleh karena itu, lebih jauh, Jamal menyimpulkan bahwa tahrim munazzal adalah apa yang disebutkan dalam al-Qur’an dengan jelas tanpa adanya ta’wil, atau yang ditetapkan dalam sunnah yang sedikit pun tidak tersentuh virus dha’if. Dengan demikian usaha para mujtahid dalam menetapkan status hukum menjadi halal, haram, atau yang lain meskipun dengan berlandaskan al-Qur’an maupun sunnah namun keluar dari bingkai tahrim munazzal, maka hasil ijtihad tersebut harus diposisikan sebagai bentuk lain yang lebih rendah nilainya dari tahrim munazzal. Bagaimanapun, hasill ijtihad tersebut masih mungkin salah atau tidak sempurna dan tidak bisa dihukumi secara pasti (qath’i) kebenarannya. Bahkan Jamal melangkah lebih jauh lagi dengan menyatakan bahwa menyamakan antara tahrim fiqhi dengan tahrim munazzal adalah satu bentuk syirik yang diisyaratkan dalam al-Qur’an (at-Taubah : 31)

Hal-hal di atas baru menyentuh seputar halal dan haram. Selanjutnya dengan menyajikan beberapa hadis, Jamal menguatkan doktrinya tentang ‘Afw.
[24] Coba bandingkan hadis berikut ini dengan pernyataan Imam Syafi’i yang dikutip di awal!
“Cukuplah dengan apa yang aku tinggalkan. Sesungguhnya Umat-umat sebelum kamu binasa disebabkan oleh banyaknya pertanyaan dan perbedaan mereka terhadap nabi-nabi mereka. Bila kalian aku larang dari sesuatu, maka jauhilah !! Dan bila kuperintahkan dengan sesuatu, laksanakan semampu kalian !!! ”
[25]
Lihatlah betapa mencoloknya perbedaan antara sabda Nabi tersebut, sebagai seorang humanis, dengan ucapan seorang faqih ahli hukum ....rasul melarang kita bertanya-tanya, sementara Imam Syafi’i mewajibkan kepada setiap mukallaf untuk mengetahui status hukum dari setiap perbuatannya, yang tak lain adalah dengan bertanya atau mencari. Rasul membatasi agama dengan larangan dan perintah (nahyan wa ijaban). Beliau mengajarkan kepada kaum Muslimin untuk berhenti pada tiap larangan dan melaksanakan perintah sebatas kemampuannya. Ini adalah puncak hikmah di satu sisi, dan rahmat di sisi lain.


Terdapat satu hal lain yang berada di antara wilayah halal dan haram, yang dalam hadis lain disebut ‘awf, “apa yang Allah halalkan dalam kitab-Nya, maka Ia halal, dan apa yang Ia haramkan adalah haram. Dan apapun yang Allah “diam”, maka itu adalah ‘awf. Karena itu, terimalah ‘awf dari Allah, sungguh sekali-kali tidaklah Allah lupa akan sesuatu. Wa ma kana rabbuka nasiyya”.
[26] Betapa, elok, wara’, dan lembutnya ungkapan (maka terimalah ‘awf dari Allah). Hadis semakna juga tersebut dalam sabda Nabi yang lain, “yang halal adalah apa yang Allah halalkan dalam kitab-Nya, dan yang haram adalah apa yang Dia haramkan dalam kitab-Nya. Apa pun yang Ia ‘diam’ maka termasuk ‘awf bagi kalian”.[27] Perhatikan, bagaimana Rasul menegaskan (sementara beliau adalah yang mendapat mandat dari Allah dalam tabligh dan bayan) bahwa yang halal dan haram adalah apa yang disebutkan dalam kitabullah ![28]
Untuk ketiga kalinya, Rasul menyatakan “Sesungguhnya Alah telah menetapkan beberapa kewajiban maka jangan kau campakkan, menetapkan beberapa batasan maka jangan kau lampaui, mengharamkam beberapa hal maka jangan kau terjang, dan “diam” dari banyak hal sebagai rahmat bagi kalian bukan karena lupa, maka janganlah kamu mencari-cari”.
[29] Sebagimana al-Qur’an melarang kita untuk bertanya-tanya , begitu juga Rasul menegaskan bahwa, ”Seorang Muslim yang paling besar dosanya adalah seseorang yang bertanya tentang sesuatu yang tidak diharamkan atas kaum Muslimin, kemudian hal itu diharamkan sebab pertanyaanya.”[30]

Baiklah, mari kita bandingkan hadis-hadis di atas, baik secara nas maupun makna, dangan apa yang dilakukan para fukaha. Sungguh tampak perbedaan yang amat jauh. Hadis-hadis tersebut hanya membatasi tiga wilayah; halal, haram, ‘awf, dan menjadikan al-Qur’an menjadi tolak ukurnya. Sementara itu kalangan fukaha justru menetapkan adanya lima zona; wajib, haram, nadb, karahah, dan ibahah. Mereka memasukkan ‘awf dalam bingkai hukum-hukum tersebut dan menyerahkan tolak ukurnya kepada para mujtahid, di samping al-Qur’an dan Rasul.

Konklusi

Dari paparan di atas, setidaknya ada tiga poin peting di sini, yang telah disampaikan oleh Jamal al-Banna, yaitu: pertama, jika konsep al-bara’ah al-ashliyyah mendapat porsi yang istimewa dan diletakkan semestinya dalam ushul fiqh, tentu ia dapat merubah citra yang ada selama ini, tentang fiqh. Sehingga, segala sesuatu bisa dikatagorikan sebagai ‘halal’ dan boleh, selama tak ada nash yang mengharamkannya, terlebih lagi bila kita dikaruniai ketentraman hati dalam melaksanakannya. Kedua, tahrim dan tahlil hanya hak Allah semata yang ia sampaikan dengan nash sharih (jelas-gamblang) dan tak membutuhkan upaya takwil, atau sunnah nabi yang tidak memuat virus dha’if. Sedangkan tahrim yang merupakan hasil rekayasa ijtihad para mujtahid, ia memiliki nilai di bawah tahrim munazzal. Mungkin saja ia dikelompokkan dalam perundang-undangan islamy yang tunduk pada perubahan, penghapusan, dan ilgha’ (peng-amandemen-an). Dan ketiga, upaya para fukaha dalam memasukkan beberapa bagian di antara halal dan haram (pada posisi ‘afw, yang telah dikukuhkan oleh banyak hadits) bisa dikatagorikan sebagai kreasi fiqhi dan angan seorang ahli hukum untuk menjangkau segala aktivitas muslim dan menempatkannya di bawah wewenangnya. Sesungguhnya, justru inilah yang ditolak oleh Rasul, dan beliau serah-kembalikan kepada hati umat dan Pencipta mereka.
[31]

Bagaimanakah nilai kebenaran dan relevansi pandangan Jamal tersebut???

Wa-Allah a’lam bi al-Shawab.


Senarai Bacaan

Al-Qur’an dan terjemahannya. 2005. Dipo Negoro : Bandung.
Al-Banna, Jamal. 1996. Nahwa Fiqh Jadid. 3 volume. Dar al-Fikr : Beirut.
Al-banna, Jamal. 2006. Doktrin Pluralisme dalam al-Qur’an. Menara : Bekasi Timur.
Al-Qardhawi, Yusuf. tt. Al-Halal wal Haram fil Islam. Dinamika Berkah Utama : Jakarta.
Al-Sya’rani, Abdul Wahab. Al-Mizan al-Kubra. Darul Hikmah : Jakarta.
Al-hakim, Muhammad Taqy. 1427 H. Al-Ushul al-‘Ammah lil Fiqh al-Muqaran. Al-Majma’ al-‘Alamy li Ahlil Bait.
Al-shadr, Muhammad Baqir. 1420 H. Durus fi Ilmil Ushul; al-Halqatul Ula. Wihdah Ta’lif al-Kutub al-Dirasiyah : Qom.
Khalaf, Abdul Wahab. 1991. Ilm Ushul al-Fiqh. Dar al-Ta’lim : Kuwait.
Zahrah, Muhammad Abu. tt. Ilm Ushul al-Fiqh. Dar al-Fikr : Beirut.
Syafi’i, Imam. 1996, Ar-risalah. Pustaka Firdaus : Jakarta.
Schacht, Joseph. 2003. Pengantar Hukum Islam. Islamika : Yogyakarta.
http://www.islamiccall.org/the%20islamiccall.html
[1] Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, hal. 1.
[2] Sebagian kalangan memperdebatkan, apakah aktfitas ijtihad hanya sekedar Muksyif ‘an al-Hukm, ataukah Munsyi’? biarlah mereka berdebat, kita tidak usah ikut nimbrung.
[3] http://www.islamiccall.org/the%20islamiccall.html
[4] TEMPO, edisi 30 September 2001, hal: 86.
[5] Untuk daftar karya-karya Jamal, lihat pada bagian belakang Nahwa Fiqh Jadid. Volume 1, hal: 203-208, volume 2, hal: 274-278, dan volume 3, hal: 309-312.
[6] Lihat, Jamal al-Banna, Doktrin Pluralisme dalam al-Qur’an, hal: 39.
[7] Imam Syafi’i, Ar-Risalah, hal: 227. lihat juga, Jamal al-Banna, Nahwa Fiqh Jadid, volume 1, hal: 19.
[8] Penggunan kata khithab mendapat perhatian tersendiri oleh Muhammad Taqi al-Hakim. Bagi dia yang tepat bukanlah khithab, tetapi I’tibar. Sebab, menurutnya, kata khithab tidak mencakup hukm pada masa pembentukan (marhalah al-ja’l), tetapi hanya khusus terhadap fase-fase akhir dari tabligh (penyampaian), wushul (akses), dan fi’liyah (praktis). Oleh karena itu, ia mendefinisikan hukm dengan al-i’tibar al-syar’i al-muta’alliq bi af’alil ‘ibad ta’alluqan mubasyiran aw ghaira mubasyir (concern syariat yang berkaitan dengan aktifitas mukallaf, baik secara langsung maupun tidak). Hal ini dimaksudkan untuk melakukan generalisasi kata al-hukm terhadap segala hal yang di dalamnya terdapat i’tibar syar’i, meskipun pada awalnya tidak berkaitan dengan aktifitas mukallaf. Untuk lebih jauhnya, silahkan merujuk al-Ushul al-‘Ammah lil Fiqh al-Muqaran, hal: 51-53.
[9] Penggunaan term al-kaff juga mendapat kritik dari M. Taqi al-Hakim. Ibid. hal: 53.
[10] Muhammad Abu Zahrah. Ilm Ushul al-Fiqh. Hal: 26-27.
[11] Abdul Wahab Khalaf. Ilm Ushul al-Fiqh. Hal: 100.
[12] Muhammad Baqir al-Shadr. Durus fi Ilmi Ushul: al-Halqah al-Ula. Hal: 40-41.
[13] Menurutnya, hukm adalah madlul al-khithab (arti atau maksud dari khithab), sedangkan khithab sendiri adalah al-kasyif ‘an al-hukm (penyingkap hukm).
[14] Misalnya, hubungan suami istri (‘alaqah zaujiyah) dan kepemilikan (‘alaqah milkiyah), jelas nggak nyambung dengan terma af’al mukallafin.
[15] Ini adalah pandangan mayoritas ulama. Sedangkan kalangan Hanafiyah membedakan antara wajib dan fardhu, dan lain-lain. Sedangkan untuk yang lainnya tidak ada perbedaan yang cukup signfikan. Untuk itu, hukm, menurut mereka ada delapan pembagian. Lihat. M. Taqi al-Hakim. Hal: 63-64.
[16] Muhammad Abu Zahrah, hal: 30-38, Abdul Wahab Khalaf, hal: 105-111, dan M. Taqi al-Hakim, hal: 54-59. Ada banyak klasifikasi untuk term wajib, tergantung dari perspektif mana ia dilihat, namun kesemuanya mengacu pada makna yang sama.
[17] Muhammad Abu Zahrah, hal: 39-42, Abdul Wahab Khalaf, hal: 111-112, dan M. Taqi al-Hakim, hal: 58-59.
[18] Muhammad Abu Zahrah, hal: 42-45, Abdul Wahab Khalaf, hal: 113-114, dan M. Taqi al-Hakim, hal: 59-61.
[19] Muhammad Abu Zahrah, hal: 45-46, Abdul Wahab Khalaf, hal: 114, dan M. Taqi al-Hakim, hal: 61.
[20] Muhammad Abu Zahrah, hal: 46-50, Abdul Wahab Khalaf, hal: 115-116, dan M. Taqi al-Hakim, hal: 61-63. Persoalan apakah Ibahah/Mubah memang ada dalam syari’at Islam??? Terdapat perbedaan sengit di kalangan ulama mengenai hal ini. Konon, al-Ka’by dari kalangan Muktazilah menolak keberadaan hukm mubah. Untuk lebih lanjut, lihat pada buku seperti terdaftar pada catatan kaki no. 15. lihat juga, Jamal al-Banna, Nahwa Fiqh Jadid, Juz 1, hal: 20-23. Lebih menarik lagi bila anda mengikuti diskusi al-Amidi dalam al-Ihkam.
[21] Sampai saat ini, saya belum menemukan landasan teologis yang jelas dan pasti mengenai klasifikasi tersebut, dalam artian nash sharih. Tentunya bukan untuk halal dan haram, tetapi untuk tiga yang lainnya. Mengajukan hadits al-Halal bayyin...., jelas sangat tidak memadai. Dan kenyataannya, klasifikasi demikian kita terima mentah-mentah tanpa bertanya apa basis teologisnya. Sebenarnya, kalau mau diakui, fenomena keberagamaan demikian cukup lumrah di antara kita. Begitulah adanya. Lihat misalnya, Ilmu Ushul al-Fiqh (Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahab Khalaf, Muhammad Khudhari Bek), al-Ushul al-‘Ammah lil Fiqh al-Muqaran (M. Taqi al-Hakim), al-Luma’ (Abu Ishak al-Syirazy), Jam’ul Jawami’ (al-Subky), al-Mustashfa (al-Ghazali), Manahijul Wushul (Imam Khomaini), Mabadi Awaliyah, al-Sulam, dan al-Bayan (Abdul Hamid Hakim), Irsyadul Fuhul (al-syaukani), dan al-Dharury (Ibn Rusyd). Dalam kitab-kitab tersebut tidak tercantum landasan teologis seperti yang kami maksud, bahkan al-Syathibi dalam magnum opus-nya ‘al-Muwafaqat’ adem-ayem saja.
[22] Jamal al-Banna. Nahwa Fiqh Jadid, juz1, hal: 20.
[23] Ibid. hal: 16.
[24] Ibid. hal: 19-20.
[25] Lihat juga pembahasan serupa oleh Abdul Wahab al-Sya’rani, dalam al-Mizan al-Kubra, juz 1, hal: 55.
[26] Diriwayatkan oleh al-Hakim dan ia anggap valid (shahih), juga ditkhrij oleh al-Bazzar. Lihat Yusuf al-Qardhawi, al-Halal wal Haram fil Islam, hal:20.
[27] Riwayat al-Turmudzi dan Ibn Majah dari Salman al-Farisi. Suatu ketika Rasulullah Saw ditanya tentang tiga hal; saman (lemak/mentega), jubun (keju), dan al-farra’ (keledai liar), akan tetapi beliau tidak bersedia menjawabnya. Beliau hanya berkomentar dengan hadis tersebut. Beliau tidak bersedia menjawab hal-hal partikular tersebut, adalah agar kita mengembalikannya pada kaidah-kaidah general tentang halal dan haram. Yakni dengan cukup mengetahui apa yang Allah haramkan, maka yang lain tentunya halal. Tentu tak lain tolak ukurnya adalah al-Qur’an. Lihat, Yusuf al-Qardhawi, hal: 20-21.
[28] Sebenarnya, berlindung di balik hadits ini cukup problematis dan debatable. Sebab bagaimana pun, lari pada al-Qur’an sendiri toh juga belum selesai. Artinya tak ada konsesus absolut bahwa suatu ayat, misalnya, memiliki signifikasi dekat atau jauh (dilalah qaribah aw ba’idah) yang mengarah pada sebuah konklusi. Jelas ini multi-tafsir.
[29] Diriwayatkan oleh al-Daruqutni, dan di-hasan-kan oleh Imam Al-Nawawi.
[30] Riwayat Bukhari dan Muslim. Lihat, Jamal al-Banna, hal: 20.
[31] Jamal al-Banna, hal: 25.

tAghafuL

PROLOG
“Namanya Abu Abdurrahman Hatim Bin Unwan, lebih dikenal dengan Hatim al-Asham. Lahir di Balkh dan wafat di Wasyjard di dekat Tirmiz pada tahun 237 H/825 M.
Mengapa dia disebut al-Asham atau ‘Si Tuli’? Tak lain karena kelapangan hatinya yang sungguh luar biasa.
Suatu hari beliau didatangi seorang wanita tua yang ingin bertanya tentang sesuatu. Secara tidak disengaja wanita itu tiba-tiba kentut.
Hatim berkata kepada wanita tua itu: “Berbicaralah yang keras, karena pendengaranku kurang tajam”. Kata-kata ini diucapkannya agar dia tidak merasa malu.
Kemudian dia mengeraskan suaranya dan Hatim pun memberi jawaban dengan keras-keras.
Selama kira-kira 15 tahun wanita itu masih hidup, selama itu pula Hatim tetap berlagak tuli. Ini dilakukannya agar tak ada seorang pun yang memberi tahu wanita tua itu mengenai keadaan yang sebenarnya.
Setelah wanita tua itu meninggal, barulah Hatim menjawab pertanyaan secara spontan. Padahal sebelumnya ia selalu menyela dengan kata-kata: “Berbicaralah lebih keras”. Itulah sebabnya kenapa ia dijuluki Hatim al-Asham atau ‘Si Tuli’ ”. [1]

TELAAH
Taghaful adalah (sikap) seseorang yang tahu dan ngerti akan sesuatu, namun berbekal keinginannya, ia ingin menampakkan dirinya seolah-olah tak tahu. Ia abai (ghafil) darinya. [2]

Sikap taghaful ini bila dilaksanakan pada tempat dan waktu yang benar, secara etis, ia adalah perbuatan yang terpuji. Terkadang, sikap demikian itu dapat membuahkan hasil dan akibat yang berarti. [3]

Tentang sikap tagahful ini, Imam Ali as menyatakan, ‘Sesiapa yang tidak ber-taghaful dan tidak memejamkan mata dari banyak persoalan, niscaya susahlah hidupnya’. [4] Tentunya statemen Imam Ali as tersebut harus kita pahami secara kontekstual dan kita letakkan pada tempatnya. Tidak lantas, dalam setiap lini kehidupan, kita ber-taghaful ria. Jika demikian adanya, pastilah hidup ini menjadi kacau (chaos / faudha), sebab tak ada lagi kritik positif-konstruktif dan musnahlah para penyeru kebaikan. Sebaliknya, terlalu cermat dan selektif (dalam pengertian negatif) terhadap urusan orang lain, entah itu perbuatannya, style, atau pun yang lainnya, tentu akan mengantarkan kita meraih predikat sebagai manusia ‘sok perfect’. Jika demikian, maka kita harus cerdas dan pandai-pandai dalam mengaktualisasikan sikap taghaful ini.

Sebagaimana disinggung di muka, sikap taghaful ini adakalanya bernuansa positif (terpuji/mahmudah), dan sebaliknya, tentu ada yang negatif (tercela/madzmumah).


Taghaful Negatif
Taghaful negatif ini harus disinggung terlebih dahulu, supaya kita tidak fokus pada yang positif saja. Dengan mengetahui yang negatif, dengan mudah kita dapat menempelkan status ‘ini yang positif’ pada sikap taghaful dalam bentuknya yang lain.

Pada dasarnya, sikap taghaful ini amat bergantung pada ‘motif’, atau, meminjam bahasa agama, ‘niat’ pelakunya. Taghaful bisa diklaim sebagai negtif bila motif yang mendasarinya adalah motif yang tidak benar, gila popularitas, dengki, pelit, memiliki efek negatif bagi agama, sosial, dan lain sebagainya.

Sebagai contoh, seseorang yang mengetahui tetangganya dilanda kesulitan hidup dan ia mampu membantunya. Ia tahu bahwa tetangganya itu memerlukan uluran tangannya, meskipun ia tidak memohon bantuan secara langsung. Lantas, dalam keadaan genting demikian, ia malah ber-taghaful ria dan berlagak tak tahu-menahu terhadap keadaan tetangganya itu. Ia bersikap demikian, tak lain, adalah karena harkatnya yang rendah dan gila harta, alias pelit. Dengan bersikap taghaful demikian, ia berharap dapat lolos dari caci maki sosial. Akan tetapi, tentu penilaian masyarakat tidaklah sejalan dengan angan kosongnya itu. Agaknya, inilah yang dimaksudkan oleh Imam Ja’far as dalam sabdanya, ‘Dermawan adalah sikap cerdas, sedangkan pelit adalah taghaful’. [5]

Contoh lain yang paling dekat dengan kehidupan kita adalah hubungan tak harmonis antara pelaku dengki (hasid) dan objeknya (mahsud). Tak jarang, lantaran dipicu oleh rasa dengki, seseorang membiarkan (bertaghaful) perbuatan tak etis dari si mahsud berjalan mulus. Karena dengan itu, ia bisa memetik keuntungan tersendiri, yaitu bila perbuatan tidak etis yang dilakukan oleh si mahsud tadi mulai ter-ekspos, dengan sendirinya ia memeroleh ‘kepuasan’ lain hanya dengan bermodalkan ‘diam’. Tak perlu modal banyak, hatinya pun girang.

Begitu juga, bila pemimpin kita, entah presiden, ketua, rektor, atau pun yang lain, bertindak secara tak rasional atau hanya mengejar satu perspektif saja, abai akan kenyataan yang ada (adanya ‘hal’ lain yang harusnya lebih diprioritaskan), dan hal-hal ‘menggelikan’ lainnya, maka dalam kondisi genting demikian kita tak sepatutnya asyik ber-taghaful. Sebab, hal itu dapat berimplikasi negatif pada keseluruhan civitas akademika kampus, masyarakat, dan atau warga negara. Efek negatif macam ini tak bisa dibiarkan.

Taghaful Positif
Agaknya taghaful positif itu mudah kita kenali bersama, bila kita memang mau jujur terhadap diri kita sendiri. Karena watak dasar manusia memang mendamba kebaikan, [6] setidaknya ia senang diperlakukan dengan baik.
Taghaful positif adalah taghaful yang berangkat dari pertimbangan rasionalitas, pengetahuan akan (efek) maslahat, sesuai dengan akhlak dan keutamaan, dan dilaksanakan dengan niat baik dan ‘tujuan yang bersih’. [7]

Taghaful positif itu dapat melahirkan banyak kebajikan. Misalnya, seorang guru tentu akan mendorong siswanya agar belajar dengan giat dan disiplin. Di samping itu, siswa akan memeroleh pengetahuan, dan tentu juga ia akan mendapat nilai ‘plus’ secara formal. Namun, se-disiplin apa pun, tentu siswa juga pernah melakukan kesalahan. Dan kesalahan itu tak selayaknya disoroti dengan tajam oleh sang guru. [8] Bisa jadi, itu akan menimbulkan efek kurang baik bagi siswa. Maka, bersikap taghaful dalam kondisi demikian ini adalah positif.

Saat saudara-saudara Yusuf as meminta izin kepada ayahnya, Nabi Ya’kub as, untuk mengajak Yusuf ‘bermain’, sebenarnya beliau sudah tahu bahwa ada konspirasi dari mereka untuk mencelakakan adiknya itu. Akan tetapi, tidak mungkin beliau membongkar konspirasi itu kepada mereka secara blak-blakan, sebab hal itu justru semakin mengokohkan keyakinan mereka bahwa ayahnya ‘pilih kasih’, dan makin mengobarkan kebencian mereka pada Yusuf. Nabi Ya’kub sudah tahu semuanya, akan tetapi beliau terjebak di antara dua pilihan yang serba sulit. Maju kena, mundur kena. Bila dibongkar niat mereka, tentu timbul efek negatif lebih lanjut, akan tetapi bila diberi izin, niscaya celakalah Yusuf. Lalu bagaimana?? Taghaful!! Itulah pilihannya. Beliau bicara dengan mereka dengan bahasa yang sedikit pun tak mengindikasikan bahwa beliau tahu niat buruk mereka, namun, dapat dipahami bahwa beliau tak memperkenankan Yusuf diajak. Simaklah pernyataan beliau, sebagaimana diabadikan dalam al-Qur’an, “Dia (Ya’kub) berkata: Sesungguhnya kepergian kamu bersama dia (Yusuf) sangat menyedihkanku, dan aku khawatir dia dimakan oleh serigala, sedang kamu lengah darinya”. [9]

Itulah di antara contoh taghaful yang positif. Imam Ali As menyatakan, “Di antara perbuatan termulia dari seorang yang berjiwa mulia adalah ber-taghaful [10] dari perkara yang ia ketahui”. [11] Dalam mengomentari pernyataan tersebut, Muhammad Abduh berkata, “yaitu tidak menoleh dan meng-ekspos aib seseorang meskipun mengetahuinya”. [12] Bahkan Jawad Mughniyah menganggap bahwa kebaikan orang mulia itu yang paling afdhal adalah tajahul (taghaful) dari aib yang memang diperbolehkan ber-tajahul, dan tidak mengumbarnya. [13]
Masih dalam rangka menjelaskan pernyataan tersebut, Ibn Abil Hadid mengutip syair yang pernah dilantunkan oleh Abu Tamam, sang penyair kondang itu, yaitu:

ليس الغبى بسيد فى قومه
لكن سيد قومه المتغابى


Si dungu itu bukanlah pemimpin kaumnya
Namun, yang berlagak dungu lah sang pemimpin kaum itu [14]

EPILOG
Agaknya kita bisa sepakat bahwa kisah Hatim di atas mencerminkan sikap taghaful yang positif. Lalu, bagaimana anda menilai kisah berikut:

“Suatu hari, seorang yang menamakan dirinya guru dan murid-muridnya mengeroyok dan memukuli seorang lelaki. Ketika ada yang bertanya, apa salah lelaki itu, si pengaku guru pun menjawab, “Dia memaki Ashabul Kahfi”.
“Siapakah Ashabul Kahfi itu?”.
“Lho apa Kau bukan orang beriman?”
“Benar, tapi Aku ingin mendapat keterangan lebih jauh”.
“Ketauhilah, Ashabul Kahfi adalah orang-orang suci yang namanya terukir dalam sejarah. Mereka adalah Abu Bakr, Umar, dan Muawiyah. Muawiyah ini adalah lelaki yang ikut menyangga ‘arsy Allah”.
“Wah, mengagumkan sekali pengetahuan Anda tentang riwayat tokoh-tokoh sejarah. Lalu menurut Anda, mana yang lebih mulia, Abu Bakr ataukah Umar?”
“Tentu saja Umar lebih mulia dari Abu Bakr?”
“Bagaimana Anda tahu?”
“Lho, lihat saja, ketika Abu Bakr wafat, Umar datang melayatnya.
Sedangkan saat Umar wafat, Abu Bakr tidak hadir melayatnya”. [15]





[1] Haidar Bagir, Kisah-Kisah Pembawa Berkah (Cinere : Pustaka IMAN, 2005 ), hal: 75-76.
[2] M. Taqi Falsafy, Al-Akhlaq (Beirut : Muassasah al-Bi’tsah, 1992 ), hal: 275.
[3] Ibid, hal: 275.
[4] Disebutkan dalam kitab al-Ghurar: 297, dikutip oleh M. Taqi Falsafy hal: 296.
[5] Tuhaful Uqul, karya al-Harrany: 315, dikutip dalam M. Taqi Falsafy, hal: 278.
[6] Oh tidak!!! Yang benar manusia itu berwatak jahat (Sigmund Freud), suka membunuh (Robert Andrey), rakus dan mementingkan diri sendiri (Empirisme dan Utilitarianisme), hanya menghindari penderitaan (Hedonisme), dan digerakkan oleh nafsu seksualnya (Freud). Sebenarnya manusia itu baik kok (Humanis [Rogers, Maslow, Allport] dan Romantis [Rousseau]). Ah tidak!! Manusia itu tidak baik dan tidak jahat, tergantung lingkungannya (Behaviorisme), tergantung pilihannya (Eksistensialisme). Bukan begitu! Manusia itu mahluk paradoksal, baik dan jahat, tapi itu potensi saja. Dari potensi yang ada, tergantung padanya, ia mau membentuk dirinya seperti apa (Muthahhari). Kita abaikan saja debat para filosof itu. Itu bukan bab taghaful. Akan tetapi saya optimis bahwa manusia itu mendamba kebaikan. Lebih jauh, lihat Murtadha Muthahhari, Manusia dan Agama (Bandung : Mizan, 2007 ), hal: 129-193, juga pengantarnya oleh Jalaludin Rakhmat, hal: 37-40.
[7] M. Taqi Falsafy, hal: 278. Wa naqa’ sarirah, saya terjemahkan ‘tujuan yang bersih’ dalam artian tidak tendensius. Dalam gramatika Arab, susunan semacam itu disebut idhafah al-shifah ila al-maushuf.
[8] Tentu yang dimaksud adalah kesalahan yang tak begitu ‘berbahaya’.
[9] Surat Yusuf, ayat 13. lihat juga, M. Taqi Falsafy, hal: 290-291.
[10] Dalam redaksi yang dikutip ini tertulis ghaflah (lalai / abai), namun dalam redaksi lain, yaitu dalam katalog kitab al-Ghurar: 297, tertulis taghaful, seperti dikutip M. Taqi Falsafy, hal: 276. Hanya saja, maksud dari kedua redaksi itu adalah sama.
[11] Nahjul Balaghah, kata-kata hikmah no 222. Lihat Muhammad al-Raysyahry, Mizanul Hikmah (Qom : Darul Hadits, 1422 H), hal: 391.
[12] Muhammad Abduh, Nahj al-Balaghah; Syarh (Beirut : Muassasah al-A’lamy), Vol. 4, hal: 50.
[13] M. Jawad Mughniyah, Fi Dzilal nahj al-Balaghah ( Beirut : Dar al-Ilm, 1979), Vol. 4, hal: 350.
[14] Abu Hamid Izzudin Ibn Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1998), vol 19, hal: 18.
[15] A. Mustofa Bisri, Canda Nabi & Tawa Sufi (Jakarta Selatan : Hikmah, 2005 ), hal: 88-89.

 
©2009 bismiLLah | by TNB