NOKIA dan Ideologi (2)


Pada tulisan sebelumnya, saya telah menggariskan semacam ‘postulat’ bagi alur berfikir saya. Yaitu, secara esensial manusia sebagai manusia tidak memiliki relasi dengan “citra”. Dengan kata lain, saya ingin menegaskan bahwa citra –dalam relasinya dengan manusia— bersifat aksdental (bi al-‘aradh). Saya memang tidak mengajukan banyak argumen untuk klaim saya ini, kecuali hanya sekedar yang bisa dibaca pada tulisan sebelumnya. Mengapa? Di samping melelahkan, tentunya, juga karena problem itu sudah pernah digarap oleh generasi klasik. Bagi sebagian orang, seperti saya, pengulangan itu —dalam beberapa hal— kadang membosankan dan menjenuhkan.

Argumen sederhana yang saya ajukan sebelumnya, bahwa ada interaksi dialektis (atau, dialektika interaktif ?!) antara publik yang membentuk citra, dan sikap masyarakat sebagai penerima sekaligus “pembentuk” citra, dapat kita gunakan untuk memahami sikap teman saya, yang telah telah terkontaminasi —ini kesimpulan ‘gegabah’ saya— oleh pola pikir “yah, sayang merknya LG, bukan NOKIA”. 

Afirmasi

Bagaimana membuktikan bahwa citra Nokia telah dibentuk sedemikian rupa oleh media? Jawabannya bisa kita peroleh dari pengamatan langsung realitas di sekitar kita. Paling mudahnya, bisa kita lihat, misalnya, pada koran PULSA. Pada daftar harga hp, kita dapati Nokia menempati urutan pertama. Kemudian, artikel-artikel dan tulisan yang dimuat didalamnya yang me-review hp-hp produk Nokia, turut melengkapi pembentukan citra tersebut.

Jangan disalahpahami. Saya sama sekali tidak menolak fakta bahwa hp-hp produk Nokia dalam beberapa aspeknya, menempati rating paling depan. Misalnya, jika ditilik dari kelengkapan fitur bawaan dan kemudahannya, juga tetek bengek yang lain. Bahwa prestasi-prestasi yang dimiliki Nokia melahirkan apresiasi tersendiri dari masyarakat, adalah sesuatu yang lumrah. Dan bahwa hal itu pula akhirnya membuat media-media yang ada menempatkan Nokia pada garda depan, adalah suatu hal yang rasional. Walau harus tetap ditegaskan bahwa kristalisasi popularitas yang dicapai Nokia tak lepas dari campur tangan media. Sampai titik ini, semua itu bersifat normal dan alamiah.

Lalu apa masalahnya? Nah, pada dasarnya yang saya persoalkan adalah sikap kita dalam menerima citra. Menyikapi citra secara berlebihan dan membuta, yang tentu saja saya anggap tidak rasional, adalah pengabaian dan penumpulan nalar. Diam-diam, keterpesonaan kita terhadap citra menjadi semacam ideologi atau suatu cara pandang tertentu. Pada titik inilah, muncul statement “yah, sayang merknya LG, bukan NOKIA”. Dalam kasus ini, proses “penilaian” (afirmasi dan negasi nilai dari suatu realitas) terjadi secara kosong dan hampa. Penilaian lebih mengikuti dan taklid pada citra, dari pada—misalnya—kualitas esensial. Karena itu pula, sikap “masa bodoh” dapat menemukan akarnya yang kuat dalam cara berfikir demikian. 

Dalam tulisan ini, sama sekali saya tidak memaksudkan bahwa kita dilarang mengikuti dan mengamini suatu citra, atau penerimaan terhadap citra dianggap sebagai sesuatu yang nihil. Sama sekali tidak.

Terakhir, saya percaya, ada kepuasan tersendiri bila kita melibatkan rasio secara optimal dalam menentukan pilihan dan asensi. Wa-Allahu a’lam.

 
©2009 bismiLLah | by TNB