Dua Karakter Tak Baik

Hampir-hampir tak ada perdebatan yang berarti di antara para pakar, bahwa yang disebut karakter adalah suatu sifat (malakah) yang terpatri kuat dalam jiwa seseorang, dan dapat melahirkan suatu tindak perbuatan ataupun laku, tanpa didahului oleh suatu rencana maupun pikir. Seolah, karakter dapat melahirkan suatu laku secara otomatis. Tanpa kontrol. Kira-kira begitulah al-Ghazali mendifinisikan akhlaq (ethics); juga al-Jabiri dalam Naqd al-Aql al-Araby seri 4-nya.

Biasanya, mereka membuat gradasi tiga level untuk “sifat”. Kata sifat (shifah) menunjukkan level terendah, diikuti dengan hal, dan dipungkasi dengan malakah. Malakah (habitus) inilah yang selanjutnya menjadi barometer dan tolak ukur primer buat karakter.

Manusia, yang memang unik dan misterius itu, memiliki banyak karakter. Bahkan, kadang paradoks. Lepas dari itu, bagi saya, karakter—baik yang beratributkan “baik” atau “buruk”—kadang menimbulkan keanehan tersendiri. Pada satu titik, kadang membuat saya kesal.
.....
Tak Ramah

Saya tadi berkunjung ke rumah Haidar Bagir, seorang Intelektual Muslim yang kebetulan menjadi pembimbing 1 skripsi saya, di Cinere. Tak ada kepentingan lain selain hanya untuk mengambil tanda tangan beliau untuk revisi skripsi saya. 

Saya tahu dan sadar bahwa Sabtu dan Minggu adalah dua hari yang secara khusus dialokasikan Pak Haidar untuk keluarganya. Maka wajar bila tadi beliau tak ada di rumah. Dan saya cukup beralasan datang ke rumah beliau, karena memang beliau sendiri yang meminta saya mengantarkan surat pengesahan itu ke rumahnya, setelah sebelumnya kita bertemu di MP. Book Point, Cilandak. Tak ada problem untuk soal ini.

Benar, tak ada problem untuk soal tersebut. Tapi ada problem lain. Problem yang kupikir serius; menyangkut soal penghargaan kepada orang lain. Problem yang muncul dari kasus seorang security.

Tadi, waktu aku uluk salam di rumah Pak Haidar, tiba-tiba seorang dengan kaos security datang mengendarai motor. Berlagak dan bergaya tak ubahnya tentara. Dengan badan kekar, wajah bengis, dan tutur kata tak ramah—dilengkapi dengan ekspresi tak bersahabat—ia melempar beberapa pertanyaan kepadaku:

Mau ngapain Mas?”
Mau ketemu Pak Haidar
Iya, mau ngapain? Dari mana? Mau minta sumbangan?

Dialog-dialog tak penting itu aku akhiri dengan, “Saya udah janjian ma Pak Haidar!”. Dengan nada ketus, entah dia tadi jawab apa. Saya lupa. Yang jelas, setelah itu, ia langsung pergi. Tak berselang lama, pembantu Pak Haidar keluar, dan saya pun menitipkan surat pengesahan yang kubawa. Kata beliau, “Pak Haidar ke Cinere Mal sama anak-anak, Mas”.

Ada satu kasus yang bagi saya negatif. Kasus yang dimainkan oleh Pak Security itu. Saya tidak tahu persis, apakah memang dalam dunia ke-satpam-an, untuk konteks tugas sebagai security Perumahan, seorang satpam didesain dan tampil dengan suatu laku tak ramah, raut muka tak bersahabat, dan cara bicara yang tak santun? Apakah satpam harus bersikap demikian saat bertemu “orang luar”? adakah itu memang kode etik satpam? Saya tak berani ambil jawaban, karena memang saya bukan satpam.

Terlepas dari itu, bagi saya, tak sepatutnya satpam bersikap demikian. Akan jauh lebih baik bila bertemu “orang luar”, ia hampiri dengan tutur kata yang manis, muka bersahabat, dan santun. Hal ini, di samping sudah tentu akan menimblkan image yang baik bagi tempat di mana ia kerja, tentu ia merupakan suatu pola dan laku yang dielu-elukan setiap orang. Jika satpam—sebagai mahluk sosial—ingin dihargai orang lain, ia harus berani menyiapkan dan menata diri untuk menghargai orang lain. Jika satpam—sekali lagi; sebagai mahluk sosial—tak merasa perlu dihargai, atau tak ingin dihargai orang lain, bukan berarti ia tak perlu menghargai orang lain. Ia tetap harus menghargai orang lain. Sebab, ketika ia sudah melibatkan dirinya dalam interaksi publik, ia harus siap dengan konsekwensi yang ada; yakni norma. Dalam konteks ini, paradigma “saya akan memberi jika saya diberi/untung” tak relevan dan tak layak pakai. Ia sudah usang. Ia hanya akan melahirkan siklus sesat tak bebobot dan, tentu saja, tak ilmiah.

Di sisi lain, bila hal-hal tersebut kita abaikan, atau anggap saja ia tak urgen, tetap masih ada problem lain yang perlu diperhatikan. Problem yang bagi sebagian orang—termasuk saya, cukup sensitif. Ini menyangkut perasaan orang lain. Saya sendiri, sebagai “korban” dari laku satpam—sebagaimana kisah di atas—merasa seolah diposisikan tak ubahnya pencuri atau peminta-peminta ilegal yang agak memaksa. Ini soal sensitifitas, karena itu ia sangat variatif dan bertingkat. Sikap satpam demikian, tentu akan menimbulkan persepsi dan penilaian yang berbeda bagi sebagian orang, sesuai kondisi psikologis yang sedang mengitari orang yang bersangkutan. Bagi saya, sikap dan laku macam itu hanya akan menimbulkan kebencian dan kekesalam. Memang, di sisi lain, boleh jadi ia dapat meningkatan keamanan wilayah tempat ia bertugas—jika cara demikian dapat diasumsikan memiliki pengaruh yang signifikan. Namun, bagaimana pun, menurut saya, tetap saja sikap dan laku demikian tak layak pakai. Selaiknya dihindari.

Tak Tau Diri

Kata Tak Tau Diri, secara verbal, lebih tepat diartikan sebagai ketidaktahuan akan diri sendiri, atau ketidaktahuan akan konsep diri ideal, atau tidak mengerti bagaimana cara menjadi “diri”. Ini semua hanya taksiran yang saya buat. Tetapi, terma Tak Tau Diri, dalam penggunaannya, lebih sering memunculkan konotasi kurang ajar, atau—secara lebih luasnya—tak beretika. Biarpun bila kita renungkan secara lebih dalam, tak ada permasalahan yang berarti dalam peristilahan ini.

Jika siang tadi saya dibuat kesal oleh sikap dan laku tak ramah seorang satpam, maka maghrib tadi saya dibikin kesal kedua kalinya oleh sikap dan laku seorang bapak-bapak.
Kisahnya begini; seusai shalat Magrib tadi, saya berjalan menuju ke Perumahan BDN, untuk ngambil uang di ATM, dengan suasana batin yang memang agak menyesakkan. Saya sendiri lupa dalam perjalanan tadi apa yang saya pikirkan. Alhasil, saya sampai di tempat.

Banyak orang pada ngantri di sana. Dan di antara mereka semua, posisiku adalah yang terakhir. Satu demi satu dari mereka pergi dan berlalu. Tinggal seorang ibu-ibu di dalam ruangan ATM, ditunggu suaminya di luar. Aku masih menunggu di depan pintu, ngantri. Tiba-tiba ibu itu membuka pintu, aku pun berdiri dari jongkokku. Ternyata salah. Ia Cuma memanggil suaminya, entah karena apa. Nah, tak berselang lama, seorang bapak-bapak dengan anak kecil datang dengan motor. Ia datang sesaat sebelum ibu dan bapak yang di dalam keluar. Aku masih di depan pintu, ngantri. Ibu dengan suaminya itu pun membuka pintu, tanda bahwa mereka telah selesai. Aku pun beranjak berdiri. Sebelum aku tegak berdiri, tiba-tiba bapak-bapak yang baru datang tadi, nylonong begitu saja dan masuk ke dalam ruang ATM. Sedikit pun tak mengindahkanku yang sejak tadi ngantri. Bahkan tak menoleh! Suami ibu-ibu yang sudah keluar tadi memandangiku, seolah ia juga tak menyetujui sikap dan laku bapak-bapak tak tau diri tadi. Setelah itu mereka pun pergi. Aku masih berdiri menunggu bapak-bapak tak disiplin dan tak tau diri tadi. Saat dia selesai dan keluar, justru kejengkelan dan kekesalan maha dahsyat menghampiriku! Bagaimana tidak? Lagi-lagi ia keluar dan berlalu persis saat ia masuk dan nyrobot antrianku! Tak minta maaf atau permisi, bahkan tak noleh!! Ia pergi begitu saja, seolah tak berdosa!! Ya, sedikitpun tak ada ekspresi bersalah atau yang lain. Ia berjalan “dingin” begitu saja! Aku mencoba menahan emosiku dengan mengingat-ingat soal “sabar”. Tak lain selain hanya untuk menundukkan emosiku. 

Aku berjalan pulang. Aku tak habis pikir dengan ulah bapak-bapak tadi. Tiba-tiba aku ingat ulah satpam siang tadi! Genap sudah. Dalam satu hari ini, aku menjumpai dua karakter tak baik. Dua karakter yang memicu rasa kesal dan jengkel. Dua karakter yang ditampilkan oleh para pelakunya dengan ekspresi tak bersalah. Ekspresi tiada berdosa. Ekspresi “tak bermoral”. 

Aku kesal. Ya, aku betul-betul kesal. Dalam kekesalan-ku, aku menyadari memang manusia itu amat misterius. Manusia itu unik. Dalam kekesalan-ku pula muncul keganjilan dalam benak. Aku pun bertanya-tanya, “Tuhan, inikah karya-Mu?!”.
Maha Suci Engkau!!

Senin, 02 Februari 2009.
01.53 am. (kamar yang kumuh!)


0 komentar:

 
©2009 bismiLLah | by TNB