Nggak bisa install win. XP SP2 di HP 520??

Bagi teman-teman yang gak tau banyak soal instalasi Laptop ataupun PC, boleh jadi satu di antara kalian ada yang pernah mengalami nasib seperti yang pernah saya alami.

Waktu itu, karena ulah virus-virus genit, terpaksa Laptop saya harus reinstall. Saya termasuk pengguna XP SP2, bukan SP3. Sebab, dengar-dengar, SP3 agak problematik.

Saat instalasi XP SP2, ada suatu “kejanggalan”. Yaitu, saat proses copy data udah selesai, Hardisk gak terdeteksi. Otomatis, proses instalasi tidak bisa dirampungkan. Dengan kata lain, gak bisa diinstall.

Aneh bukan?? Kasus itu ditandai dengan munculnya tulisan semacam ini;

Anda mungkin akan pusing dibuatnya, seperti saya kala itu.

Dulu, saya sudah coba hubungi banyak teman. Jawaban mereka juga variatif. Ada yang bilang, mungkin Hardisknya rusak, ada juga yang menuduh BIOS-nya teler.

Saya yang sudah kualahan ngadepin kasus itu, gak mau ambil pusing (sebetulnya sih udah pusing!). Saya meluncur nenteng Laptop saya ke HP Service Center di Mangga Dua, Jakarta.
Seusai saya ceritakan kasusnya, kata operator, mungkin Hardisknya lemah. Saya bilang gak ada masalah dengan Hardisk. Udah saya diagnosis.Titik akhir dari dialog itu, operator menyarankan untuk reinstall. Mau tidak mau harus saya iya-kan.

Yang ganjil bagi saya, mengapa pada form yang saya isi, kasus yang tertulis di situ adalah “Install Ulang”. Bukan yang lain.

2 jam setelah itu, semua beres. Saya tanya, kenapa waktu saya install sendiri tidak bisa? Operator gak mau kasih jawaban.

Seminggu setelah itu, tidak sengaja saya menekan Setting Defaults. Entah, tiba-tiba laptop saya gak bisa booting. Mbulet pokoknya. Karena tak tau banyak, saya berinisiatif untuk install ulang.
Saya kaget luar biasa. Kasus yang sama terulang kembali. Hardisk kagak kebaca! 
Sebetulnya, saya punya rencana untuk kembali ke Service Center. Tetapi, sebelum rencana itu saya luluskan, saya ada keperluan untuk kirim mail ke salah satu teman yang sedang studi di Malang. Saat itu saya coba tulis di Google, “problem booting”. Cuman iseng aja. Gak taunya, saya dapat jawaban dari problem yang saya hadapin waktu itu. Thank’s Boy!

Ternyata mudah kawan!

Kalau di antara kalian ada yang mengalami nasib yang sama, ikuti langkah-langkah berikut:

Pada saat booting pertama di Laptop HP 520 tekan tombol F10, masuk ke settingan BIOS di TAB System Configuration -> SATA Native Mode -> Disabled.
Trus simpan di menu File -> Save Changes and Exit, lalu tekan F10 untuk yes.

Beres sudah. Mudah bukan?! Setelah itu proses instalasi akan berjalan normal.

Mengapa Hardisk bisa gak kebaca? Ternyata win. XP SP2 tidak support SATA. Jadi, harus diubah dulu settingan Hardisk, dari SATA RAID ke IDE, dengan langkah-langkah seperti di atas.
Ternyata, batas antara “tau” dengan “tidak tau” sangat tipis bukan??.

Wa-Allahu a’lam.


Supir Angkot

Siang itu, di tengah-tengah terik matahari yang begitu menyengat, aku duduk terdiam di kursi angkot (Angkutan Umum) bagian depan. Di sebelah kananku tempat Pak Supir.

Mulanya, aku mengira ia tak beda dengan kebanyakan supir lainnya. Apalagi, kesan-kesan awal membenarkan hal itu. Ia sering emosi ketika pengguna jalan yang lain mendahuluinya, atau saat pengendara motor pencet-pencet klakson secara tak etis dari belakang. Aku sadar, Pak Supir sangat beralasan untuk emosi. Penampilan dan style-nya juga tak beda dari kebanyakan supir lain. Hanya saja, itu semua adalah tampilan luar.

Angkot berjalan normal. Cuaca yang panas dan gerah masih seperti semula. Tiba-tiba, tak terasa angkot 102 yang kita tunggangi sudah sampai Cinere. Pada satu titik kawasan sebelum Mal Cinere, ada area proyek pembangunan. Aku hanya melihat-lihat. Usai itu, aku mencoba ramah dan dialog dengan Pak Supir.

“Ini (proyek pembangunan) mau dibikin apa, Bang??”
“Carrefour, Mas...”

Tak lama berselang, Pak Supir melanjutkan percakapannya. Kebetulan juga, tepat di belakang persis Pak Supir ada seorang Ibu yang juga vokal dan suka nyambung obrolan. Kata Pak Supir, tak lama lagi jalan dari Cinere sampai Parung Bingung akan dilebarkan. Kalau gak salah, kanan dan kiri jalan akan ditambah 8 m. Ia juga bilang bahwa dari Depok sampai Lebak Bulus—lewat jalur Kebayoran—akan dibuat tol, sebagaimana dari Depok sampai Citayam akan dibikin tol juga. Anehnya, saat pengukuran oleh petugas sudah dijalankan beberapa bulan yang lalu, kini patokan-patokan itu dicabutin lagi. Tak tau, apakah pelebaran jalan urung dilakukan, atau entah apa.

Dalam taksiran Pak Supir, pelebaran jalan dari Cinere ke Parung Bingung—jika direalisasikan—paling cepat memakan waktu 8 bulan. Ia menggunakan analaogi dalam klaim itu. Katanya juga, kawasan itu nanti akan dijadikan sarang perkantoran, mengingat letaknya yang strategis.

Sampai di sini, Pak Supir baru mencermati keadaan realitas sekitar yang menghimpitnya. Selanjutnya, ia melakukan komparasi dengan keadaan zaman dulu, masih dalam lingkup teritorial yang sama, yakni Indonesia.

Kata dia, di zaman Soekarno dulu, pembangunan merata, walau harus diakui tingkat kemajuan yang dicapainya tidak secemerlang era Soeharto dan sekarang. Itu lebih baik dari pada sentralisasi seperti sekarang. “Pejabat-pejabat sekarang”, lanjutnya, “pada berebut kedudukan, popularitas, dan harta”. Jadi, wajar jika kesejahteraan rakyat tak begitu dipedulikan. Rakyat sengsara.

Kondisi demikian, menyeret sebagian rakyat jelata berlaku curang dalam transaksi jual-beli. Misalnya, di daerah Pak Supir sendiri, Parung Bingung, rata-rata minyak tanah dibanderol dengan harga 9 ribu/lt. Hanya saja, ada keganjilan tersendiri. Menurutnya, minyak tanah di warung-warung itu, kebanyakan berwarna agak ungu, dan berbau tak ubahnya solar. Jika benar bahwa itu adalah solar, atau paling tidak, dicampur dengan solar, maka keuntungan yang mereka dapat adalah dua kali lipat. Sebab, harga solar 4 ribu. Itu adalah contoh kecurangan dari kalangan bawah. Rasanya, genap sudah permainan curang dari elit atas sampai kalangan bawah di Negeri ini. Tiba-tiba, saya teringat sabda Rasul, “man gasysyana fa laisa minna”, tukang tipu itu bukan bagian dari Kami!

Pak Supir masih belum berhenti berkisah. Kata dia, bahkan habib-habib yang melayani pengobatan masyarakat, yang mana mereka adalah sosok panutan masyarakat awam—sudah banyak di antara mereka yang tak punya harga diri. Untuk kasus pengobatan, ada di antara mereka yang pasang harga begitu tinggi, sehingg rakyat miskin tak bisa nyuwun pertolongan kepada mereka. Gilanya lagi, ada pasien yang sudah menikah bertahun-tahun dan belum punya anak, lalu mencoba “konsultasi” ke si Habib, eh malah istri si pasien dicabuli. Gila! “Iman-Islam mereka hanya dibuat kedok, Mas!”, kata Pak Supir kepada saya menilai para habib itu. Aku tak tau, valid atau tidak informasi yang ia sampaikan itu. Yang pasti, itu menunjukkan keprihatinan yang mendalam dari seorang supir atas apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya.

Cuaca tak panas lagi. Gelap. Aneh, tiba-tiba hujan lebat. Tapi itu lebih baik dari pada cuaca panas yang tak bosan-bosannya memeras keringatku.

Aku pikir Pak Supir sudah kehabisan wacana. Ternyata tidak. Ia menerobos sekat-sekat yang memisahkan antar negara di kawasan Asia Tenggara. Ia mencoba melakukan komparasi keadaan ekonomi-sosial beberapa negara di Asia Tenggara dengan Indonesia.

Kata dia, di Malaysia dan Singapura tak ada angkot semacam ini. Tentu yang ia maskud adalah angkot 102 yang ia tarik (kemudikan). Ia menuturkan kesejehteraan sosial di dua negara teresebut dengan apik, padahal dulu “Malaysia itu lebih miskin dari kita”, ujarnya. Walau dengan jujur ia akui, bahwa warga Malaysia kebanyakan disiplin.

Aku sendiri banyak lupa poin apa saja yang singgung dari dua negara tersebut. Aku mulai berfikir bahwa Pak Supir ini dulunya adalah mantan TKI.
Belum selesai aku melayang-layang dalam fikiranku, Pak Supir tiba-tiba berbicara seputar keadaan ekonomi-sosial di Philipina.

Ia bertutur, di Philipina keadaan perdesaannya tak jauh beda dengan kita. Bahkan, malah ada yang lebih miskin. Kalau di Philipina, angkot-angkotnya tak beda dengan kita di sini, bahkan lebih jelek. Kebanyakannya adalah mobil 2 tak, atau angkutan air [perahu kecil].

Aku mulai kagum dengan uraian Pak Supir. Belum selesai aku terpesona, “Hanya saja Mas, kalau di masyarakat di Philipina—bedanya dengan kita—masih banyak yang menganut animisme dan dinamisme”, ujarnya. Aku kaget, dari mana Pak Supir tau sampai titik itu? Belum selesai aku berfikir, ia melanjutkan, “Kalau di Kita, ya seperti di Nias, atau yang deket sini, di Ujung Kulon”. Aku terperanjat, bagaimana Pak Supir ingat betul beberapa titik geografis di Indonesia yang penduduknya masih memeluk animisme? Itu ada di pelajaran SLTP. Bahkan, “Nias” adalah nama daerah yang telah lama lenyap dari memoriku. Aku kembali ingat nama itu lewat uraian Pak Supir tadi.

Pak Supir masih terus berkisah. Tapi sayang, aku sudah sampai tujuan. Mau tak mau, aku harus meninggalkan Pak Supir itu dan membiarkannya bercerita kepada Ibu-Ibu yang duduk persis di belakangnya.

Yang patut disesalkan, aku lupa beberapa nama daerah yang ia singgung dalam perbincangan itu, baik di dalam maupun di luar negeri. Sehingga, apologized, aku tidak dapat menarasikan pengetahuan Pak Supir tadi!

Siang itu, aku merasa begitu bahagia! Tak dapat aku deskripsikan rasa yang menyelimuti hatiku saat itu. Aku bahagia karena bertemu dengan Pak Supir yang beda dari yang lain. Supir yang menjalani profesinya sebagai supir angkot, namun tetap memiliki kepedulian dan pengetahuan yang cukup.

Betapa pun tidak seluruh yang ia bicarakan dapat aku setujui, aku tetap bahagia mendapat satu pelajaran menarik dari seorang supir angkot. Semoga ia mendapatkan jalannya.

Terima kasih Tuhan!
Wa-Allahu a’lam.

[sabtu, 30 Mei 09]

Dua Karakter Tak Baik

Hampir-hampir tak ada perdebatan yang berarti di antara para pakar, bahwa yang disebut karakter adalah suatu sifat (malakah) yang terpatri kuat dalam jiwa seseorang, dan dapat melahirkan suatu tindak perbuatan ataupun laku, tanpa didahului oleh suatu rencana maupun pikir. Seolah, karakter dapat melahirkan suatu laku secara otomatis. Tanpa kontrol. Kira-kira begitulah al-Ghazali mendifinisikan akhlaq (ethics); juga al-Jabiri dalam Naqd al-Aql al-Araby seri 4-nya.

Biasanya, mereka membuat gradasi tiga level untuk “sifat”. Kata sifat (shifah) menunjukkan level terendah, diikuti dengan hal, dan dipungkasi dengan malakah. Malakah (habitus) inilah yang selanjutnya menjadi barometer dan tolak ukur primer buat karakter.

Manusia, yang memang unik dan misterius itu, memiliki banyak karakter. Bahkan, kadang paradoks. Lepas dari itu, bagi saya, karakter—baik yang beratributkan “baik” atau “buruk”—kadang menimbulkan keanehan tersendiri. Pada satu titik, kadang membuat saya kesal.
.....
Tak Ramah

Saya tadi berkunjung ke rumah Haidar Bagir, seorang Intelektual Muslim yang kebetulan menjadi pembimbing 1 skripsi saya, di Cinere. Tak ada kepentingan lain selain hanya untuk mengambil tanda tangan beliau untuk revisi skripsi saya. 

Saya tahu dan sadar bahwa Sabtu dan Minggu adalah dua hari yang secara khusus dialokasikan Pak Haidar untuk keluarganya. Maka wajar bila tadi beliau tak ada di rumah. Dan saya cukup beralasan datang ke rumah beliau, karena memang beliau sendiri yang meminta saya mengantarkan surat pengesahan itu ke rumahnya, setelah sebelumnya kita bertemu di MP. Book Point, Cilandak. Tak ada problem untuk soal ini.

Benar, tak ada problem untuk soal tersebut. Tapi ada problem lain. Problem yang kupikir serius; menyangkut soal penghargaan kepada orang lain. Problem yang muncul dari kasus seorang security.

Tadi, waktu aku uluk salam di rumah Pak Haidar, tiba-tiba seorang dengan kaos security datang mengendarai motor. Berlagak dan bergaya tak ubahnya tentara. Dengan badan kekar, wajah bengis, dan tutur kata tak ramah—dilengkapi dengan ekspresi tak bersahabat—ia melempar beberapa pertanyaan kepadaku:

Mau ngapain Mas?”
Mau ketemu Pak Haidar
Iya, mau ngapain? Dari mana? Mau minta sumbangan?

Dialog-dialog tak penting itu aku akhiri dengan, “Saya udah janjian ma Pak Haidar!”. Dengan nada ketus, entah dia tadi jawab apa. Saya lupa. Yang jelas, setelah itu, ia langsung pergi. Tak berselang lama, pembantu Pak Haidar keluar, dan saya pun menitipkan surat pengesahan yang kubawa. Kata beliau, “Pak Haidar ke Cinere Mal sama anak-anak, Mas”.

Ada satu kasus yang bagi saya negatif. Kasus yang dimainkan oleh Pak Security itu. Saya tidak tahu persis, apakah memang dalam dunia ke-satpam-an, untuk konteks tugas sebagai security Perumahan, seorang satpam didesain dan tampil dengan suatu laku tak ramah, raut muka tak bersahabat, dan cara bicara yang tak santun? Apakah satpam harus bersikap demikian saat bertemu “orang luar”? adakah itu memang kode etik satpam? Saya tak berani ambil jawaban, karena memang saya bukan satpam.

Terlepas dari itu, bagi saya, tak sepatutnya satpam bersikap demikian. Akan jauh lebih baik bila bertemu “orang luar”, ia hampiri dengan tutur kata yang manis, muka bersahabat, dan santun. Hal ini, di samping sudah tentu akan menimblkan image yang baik bagi tempat di mana ia kerja, tentu ia merupakan suatu pola dan laku yang dielu-elukan setiap orang. Jika satpam—sebagai mahluk sosial—ingin dihargai orang lain, ia harus berani menyiapkan dan menata diri untuk menghargai orang lain. Jika satpam—sekali lagi; sebagai mahluk sosial—tak merasa perlu dihargai, atau tak ingin dihargai orang lain, bukan berarti ia tak perlu menghargai orang lain. Ia tetap harus menghargai orang lain. Sebab, ketika ia sudah melibatkan dirinya dalam interaksi publik, ia harus siap dengan konsekwensi yang ada; yakni norma. Dalam konteks ini, paradigma “saya akan memberi jika saya diberi/untung” tak relevan dan tak layak pakai. Ia sudah usang. Ia hanya akan melahirkan siklus sesat tak bebobot dan, tentu saja, tak ilmiah.

Di sisi lain, bila hal-hal tersebut kita abaikan, atau anggap saja ia tak urgen, tetap masih ada problem lain yang perlu diperhatikan. Problem yang bagi sebagian orang—termasuk saya, cukup sensitif. Ini menyangkut perasaan orang lain. Saya sendiri, sebagai “korban” dari laku satpam—sebagaimana kisah di atas—merasa seolah diposisikan tak ubahnya pencuri atau peminta-peminta ilegal yang agak memaksa. Ini soal sensitifitas, karena itu ia sangat variatif dan bertingkat. Sikap satpam demikian, tentu akan menimbulkan persepsi dan penilaian yang berbeda bagi sebagian orang, sesuai kondisi psikologis yang sedang mengitari orang yang bersangkutan. Bagi saya, sikap dan laku macam itu hanya akan menimbulkan kebencian dan kekesalam. Memang, di sisi lain, boleh jadi ia dapat meningkatan keamanan wilayah tempat ia bertugas—jika cara demikian dapat diasumsikan memiliki pengaruh yang signifikan. Namun, bagaimana pun, menurut saya, tetap saja sikap dan laku demikian tak layak pakai. Selaiknya dihindari.

Tak Tau Diri

Kata Tak Tau Diri, secara verbal, lebih tepat diartikan sebagai ketidaktahuan akan diri sendiri, atau ketidaktahuan akan konsep diri ideal, atau tidak mengerti bagaimana cara menjadi “diri”. Ini semua hanya taksiran yang saya buat. Tetapi, terma Tak Tau Diri, dalam penggunaannya, lebih sering memunculkan konotasi kurang ajar, atau—secara lebih luasnya—tak beretika. Biarpun bila kita renungkan secara lebih dalam, tak ada permasalahan yang berarti dalam peristilahan ini.

Jika siang tadi saya dibuat kesal oleh sikap dan laku tak ramah seorang satpam, maka maghrib tadi saya dibikin kesal kedua kalinya oleh sikap dan laku seorang bapak-bapak.
Kisahnya begini; seusai shalat Magrib tadi, saya berjalan menuju ke Perumahan BDN, untuk ngambil uang di ATM, dengan suasana batin yang memang agak menyesakkan. Saya sendiri lupa dalam perjalanan tadi apa yang saya pikirkan. Alhasil, saya sampai di tempat.

Banyak orang pada ngantri di sana. Dan di antara mereka semua, posisiku adalah yang terakhir. Satu demi satu dari mereka pergi dan berlalu. Tinggal seorang ibu-ibu di dalam ruangan ATM, ditunggu suaminya di luar. Aku masih menunggu di depan pintu, ngantri. Tiba-tiba ibu itu membuka pintu, aku pun berdiri dari jongkokku. Ternyata salah. Ia Cuma memanggil suaminya, entah karena apa. Nah, tak berselang lama, seorang bapak-bapak dengan anak kecil datang dengan motor. Ia datang sesaat sebelum ibu dan bapak yang di dalam keluar. Aku masih di depan pintu, ngantri. Ibu dengan suaminya itu pun membuka pintu, tanda bahwa mereka telah selesai. Aku pun beranjak berdiri. Sebelum aku tegak berdiri, tiba-tiba bapak-bapak yang baru datang tadi, nylonong begitu saja dan masuk ke dalam ruang ATM. Sedikit pun tak mengindahkanku yang sejak tadi ngantri. Bahkan tak menoleh! Suami ibu-ibu yang sudah keluar tadi memandangiku, seolah ia juga tak menyetujui sikap dan laku bapak-bapak tak tau diri tadi. Setelah itu mereka pun pergi. Aku masih berdiri menunggu bapak-bapak tak disiplin dan tak tau diri tadi. Saat dia selesai dan keluar, justru kejengkelan dan kekesalan maha dahsyat menghampiriku! Bagaimana tidak? Lagi-lagi ia keluar dan berlalu persis saat ia masuk dan nyrobot antrianku! Tak minta maaf atau permisi, bahkan tak noleh!! Ia pergi begitu saja, seolah tak berdosa!! Ya, sedikitpun tak ada ekspresi bersalah atau yang lain. Ia berjalan “dingin” begitu saja! Aku mencoba menahan emosiku dengan mengingat-ingat soal “sabar”. Tak lain selain hanya untuk menundukkan emosiku. 

Aku berjalan pulang. Aku tak habis pikir dengan ulah bapak-bapak tadi. Tiba-tiba aku ingat ulah satpam siang tadi! Genap sudah. Dalam satu hari ini, aku menjumpai dua karakter tak baik. Dua karakter yang memicu rasa kesal dan jengkel. Dua karakter yang ditampilkan oleh para pelakunya dengan ekspresi tak bersalah. Ekspresi tiada berdosa. Ekspresi “tak bermoral”. 

Aku kesal. Ya, aku betul-betul kesal. Dalam kekesalan-ku, aku menyadari memang manusia itu amat misterius. Manusia itu unik. Dalam kekesalan-ku pula muncul keganjilan dalam benak. Aku pun bertanya-tanya, “Tuhan, inikah karya-Mu?!”.
Maha Suci Engkau!!

Senin, 02 Februari 2009.
01.53 am. (kamar yang kumuh!)


 
©2009 bismiLLah | by TNB