tAghafuL

PROLOG
“Namanya Abu Abdurrahman Hatim Bin Unwan, lebih dikenal dengan Hatim al-Asham. Lahir di Balkh dan wafat di Wasyjard di dekat Tirmiz pada tahun 237 H/825 M.
Mengapa dia disebut al-Asham atau ‘Si Tuli’? Tak lain karena kelapangan hatinya yang sungguh luar biasa.
Suatu hari beliau didatangi seorang wanita tua yang ingin bertanya tentang sesuatu. Secara tidak disengaja wanita itu tiba-tiba kentut.
Hatim berkata kepada wanita tua itu: “Berbicaralah yang keras, karena pendengaranku kurang tajam”. Kata-kata ini diucapkannya agar dia tidak merasa malu.
Kemudian dia mengeraskan suaranya dan Hatim pun memberi jawaban dengan keras-keras.
Selama kira-kira 15 tahun wanita itu masih hidup, selama itu pula Hatim tetap berlagak tuli. Ini dilakukannya agar tak ada seorang pun yang memberi tahu wanita tua itu mengenai keadaan yang sebenarnya.
Setelah wanita tua itu meninggal, barulah Hatim menjawab pertanyaan secara spontan. Padahal sebelumnya ia selalu menyela dengan kata-kata: “Berbicaralah lebih keras”. Itulah sebabnya kenapa ia dijuluki Hatim al-Asham atau ‘Si Tuli’ ”. [1]

TELAAH
Taghaful adalah (sikap) seseorang yang tahu dan ngerti akan sesuatu, namun berbekal keinginannya, ia ingin menampakkan dirinya seolah-olah tak tahu. Ia abai (ghafil) darinya. [2]

Sikap taghaful ini bila dilaksanakan pada tempat dan waktu yang benar, secara etis, ia adalah perbuatan yang terpuji. Terkadang, sikap demikian itu dapat membuahkan hasil dan akibat yang berarti. [3]

Tentang sikap tagahful ini, Imam Ali as menyatakan, ‘Sesiapa yang tidak ber-taghaful dan tidak memejamkan mata dari banyak persoalan, niscaya susahlah hidupnya’. [4] Tentunya statemen Imam Ali as tersebut harus kita pahami secara kontekstual dan kita letakkan pada tempatnya. Tidak lantas, dalam setiap lini kehidupan, kita ber-taghaful ria. Jika demikian adanya, pastilah hidup ini menjadi kacau (chaos / faudha), sebab tak ada lagi kritik positif-konstruktif dan musnahlah para penyeru kebaikan. Sebaliknya, terlalu cermat dan selektif (dalam pengertian negatif) terhadap urusan orang lain, entah itu perbuatannya, style, atau pun yang lainnya, tentu akan mengantarkan kita meraih predikat sebagai manusia ‘sok perfect’. Jika demikian, maka kita harus cerdas dan pandai-pandai dalam mengaktualisasikan sikap taghaful ini.

Sebagaimana disinggung di muka, sikap taghaful ini adakalanya bernuansa positif (terpuji/mahmudah), dan sebaliknya, tentu ada yang negatif (tercela/madzmumah).


Taghaful Negatif
Taghaful negatif ini harus disinggung terlebih dahulu, supaya kita tidak fokus pada yang positif saja. Dengan mengetahui yang negatif, dengan mudah kita dapat menempelkan status ‘ini yang positif’ pada sikap taghaful dalam bentuknya yang lain.

Pada dasarnya, sikap taghaful ini amat bergantung pada ‘motif’, atau, meminjam bahasa agama, ‘niat’ pelakunya. Taghaful bisa diklaim sebagai negtif bila motif yang mendasarinya adalah motif yang tidak benar, gila popularitas, dengki, pelit, memiliki efek negatif bagi agama, sosial, dan lain sebagainya.

Sebagai contoh, seseorang yang mengetahui tetangganya dilanda kesulitan hidup dan ia mampu membantunya. Ia tahu bahwa tetangganya itu memerlukan uluran tangannya, meskipun ia tidak memohon bantuan secara langsung. Lantas, dalam keadaan genting demikian, ia malah ber-taghaful ria dan berlagak tak tahu-menahu terhadap keadaan tetangganya itu. Ia bersikap demikian, tak lain, adalah karena harkatnya yang rendah dan gila harta, alias pelit. Dengan bersikap taghaful demikian, ia berharap dapat lolos dari caci maki sosial. Akan tetapi, tentu penilaian masyarakat tidaklah sejalan dengan angan kosongnya itu. Agaknya, inilah yang dimaksudkan oleh Imam Ja’far as dalam sabdanya, ‘Dermawan adalah sikap cerdas, sedangkan pelit adalah taghaful’. [5]

Contoh lain yang paling dekat dengan kehidupan kita adalah hubungan tak harmonis antara pelaku dengki (hasid) dan objeknya (mahsud). Tak jarang, lantaran dipicu oleh rasa dengki, seseorang membiarkan (bertaghaful) perbuatan tak etis dari si mahsud berjalan mulus. Karena dengan itu, ia bisa memetik keuntungan tersendiri, yaitu bila perbuatan tidak etis yang dilakukan oleh si mahsud tadi mulai ter-ekspos, dengan sendirinya ia memeroleh ‘kepuasan’ lain hanya dengan bermodalkan ‘diam’. Tak perlu modal banyak, hatinya pun girang.

Begitu juga, bila pemimpin kita, entah presiden, ketua, rektor, atau pun yang lain, bertindak secara tak rasional atau hanya mengejar satu perspektif saja, abai akan kenyataan yang ada (adanya ‘hal’ lain yang harusnya lebih diprioritaskan), dan hal-hal ‘menggelikan’ lainnya, maka dalam kondisi genting demikian kita tak sepatutnya asyik ber-taghaful. Sebab, hal itu dapat berimplikasi negatif pada keseluruhan civitas akademika kampus, masyarakat, dan atau warga negara. Efek negatif macam ini tak bisa dibiarkan.

Taghaful Positif
Agaknya taghaful positif itu mudah kita kenali bersama, bila kita memang mau jujur terhadap diri kita sendiri. Karena watak dasar manusia memang mendamba kebaikan, [6] setidaknya ia senang diperlakukan dengan baik.
Taghaful positif adalah taghaful yang berangkat dari pertimbangan rasionalitas, pengetahuan akan (efek) maslahat, sesuai dengan akhlak dan keutamaan, dan dilaksanakan dengan niat baik dan ‘tujuan yang bersih’. [7]

Taghaful positif itu dapat melahirkan banyak kebajikan. Misalnya, seorang guru tentu akan mendorong siswanya agar belajar dengan giat dan disiplin. Di samping itu, siswa akan memeroleh pengetahuan, dan tentu juga ia akan mendapat nilai ‘plus’ secara formal. Namun, se-disiplin apa pun, tentu siswa juga pernah melakukan kesalahan. Dan kesalahan itu tak selayaknya disoroti dengan tajam oleh sang guru. [8] Bisa jadi, itu akan menimbulkan efek kurang baik bagi siswa. Maka, bersikap taghaful dalam kondisi demikian ini adalah positif.

Saat saudara-saudara Yusuf as meminta izin kepada ayahnya, Nabi Ya’kub as, untuk mengajak Yusuf ‘bermain’, sebenarnya beliau sudah tahu bahwa ada konspirasi dari mereka untuk mencelakakan adiknya itu. Akan tetapi, tidak mungkin beliau membongkar konspirasi itu kepada mereka secara blak-blakan, sebab hal itu justru semakin mengokohkan keyakinan mereka bahwa ayahnya ‘pilih kasih’, dan makin mengobarkan kebencian mereka pada Yusuf. Nabi Ya’kub sudah tahu semuanya, akan tetapi beliau terjebak di antara dua pilihan yang serba sulit. Maju kena, mundur kena. Bila dibongkar niat mereka, tentu timbul efek negatif lebih lanjut, akan tetapi bila diberi izin, niscaya celakalah Yusuf. Lalu bagaimana?? Taghaful!! Itulah pilihannya. Beliau bicara dengan mereka dengan bahasa yang sedikit pun tak mengindikasikan bahwa beliau tahu niat buruk mereka, namun, dapat dipahami bahwa beliau tak memperkenankan Yusuf diajak. Simaklah pernyataan beliau, sebagaimana diabadikan dalam al-Qur’an, “Dia (Ya’kub) berkata: Sesungguhnya kepergian kamu bersama dia (Yusuf) sangat menyedihkanku, dan aku khawatir dia dimakan oleh serigala, sedang kamu lengah darinya”. [9]

Itulah di antara contoh taghaful yang positif. Imam Ali As menyatakan, “Di antara perbuatan termulia dari seorang yang berjiwa mulia adalah ber-taghaful [10] dari perkara yang ia ketahui”. [11] Dalam mengomentari pernyataan tersebut, Muhammad Abduh berkata, “yaitu tidak menoleh dan meng-ekspos aib seseorang meskipun mengetahuinya”. [12] Bahkan Jawad Mughniyah menganggap bahwa kebaikan orang mulia itu yang paling afdhal adalah tajahul (taghaful) dari aib yang memang diperbolehkan ber-tajahul, dan tidak mengumbarnya. [13]
Masih dalam rangka menjelaskan pernyataan tersebut, Ibn Abil Hadid mengutip syair yang pernah dilantunkan oleh Abu Tamam, sang penyair kondang itu, yaitu:

ليس الغبى بسيد فى قومه
لكن سيد قومه المتغابى


Si dungu itu bukanlah pemimpin kaumnya
Namun, yang berlagak dungu lah sang pemimpin kaum itu [14]

EPILOG
Agaknya kita bisa sepakat bahwa kisah Hatim di atas mencerminkan sikap taghaful yang positif. Lalu, bagaimana anda menilai kisah berikut:

“Suatu hari, seorang yang menamakan dirinya guru dan murid-muridnya mengeroyok dan memukuli seorang lelaki. Ketika ada yang bertanya, apa salah lelaki itu, si pengaku guru pun menjawab, “Dia memaki Ashabul Kahfi”.
“Siapakah Ashabul Kahfi itu?”.
“Lho apa Kau bukan orang beriman?”
“Benar, tapi Aku ingin mendapat keterangan lebih jauh”.
“Ketauhilah, Ashabul Kahfi adalah orang-orang suci yang namanya terukir dalam sejarah. Mereka adalah Abu Bakr, Umar, dan Muawiyah. Muawiyah ini adalah lelaki yang ikut menyangga ‘arsy Allah”.
“Wah, mengagumkan sekali pengetahuan Anda tentang riwayat tokoh-tokoh sejarah. Lalu menurut Anda, mana yang lebih mulia, Abu Bakr ataukah Umar?”
“Tentu saja Umar lebih mulia dari Abu Bakr?”
“Bagaimana Anda tahu?”
“Lho, lihat saja, ketika Abu Bakr wafat, Umar datang melayatnya.
Sedangkan saat Umar wafat, Abu Bakr tidak hadir melayatnya”. [15]





[1] Haidar Bagir, Kisah-Kisah Pembawa Berkah (Cinere : Pustaka IMAN, 2005 ), hal: 75-76.
[2] M. Taqi Falsafy, Al-Akhlaq (Beirut : Muassasah al-Bi’tsah, 1992 ), hal: 275.
[3] Ibid, hal: 275.
[4] Disebutkan dalam kitab al-Ghurar: 297, dikutip oleh M. Taqi Falsafy hal: 296.
[5] Tuhaful Uqul, karya al-Harrany: 315, dikutip dalam M. Taqi Falsafy, hal: 278.
[6] Oh tidak!!! Yang benar manusia itu berwatak jahat (Sigmund Freud), suka membunuh (Robert Andrey), rakus dan mementingkan diri sendiri (Empirisme dan Utilitarianisme), hanya menghindari penderitaan (Hedonisme), dan digerakkan oleh nafsu seksualnya (Freud). Sebenarnya manusia itu baik kok (Humanis [Rogers, Maslow, Allport] dan Romantis [Rousseau]). Ah tidak!! Manusia itu tidak baik dan tidak jahat, tergantung lingkungannya (Behaviorisme), tergantung pilihannya (Eksistensialisme). Bukan begitu! Manusia itu mahluk paradoksal, baik dan jahat, tapi itu potensi saja. Dari potensi yang ada, tergantung padanya, ia mau membentuk dirinya seperti apa (Muthahhari). Kita abaikan saja debat para filosof itu. Itu bukan bab taghaful. Akan tetapi saya optimis bahwa manusia itu mendamba kebaikan. Lebih jauh, lihat Murtadha Muthahhari, Manusia dan Agama (Bandung : Mizan, 2007 ), hal: 129-193, juga pengantarnya oleh Jalaludin Rakhmat, hal: 37-40.
[7] M. Taqi Falsafy, hal: 278. Wa naqa’ sarirah, saya terjemahkan ‘tujuan yang bersih’ dalam artian tidak tendensius. Dalam gramatika Arab, susunan semacam itu disebut idhafah al-shifah ila al-maushuf.
[8] Tentu yang dimaksud adalah kesalahan yang tak begitu ‘berbahaya’.
[9] Surat Yusuf, ayat 13. lihat juga, M. Taqi Falsafy, hal: 290-291.
[10] Dalam redaksi yang dikutip ini tertulis ghaflah (lalai / abai), namun dalam redaksi lain, yaitu dalam katalog kitab al-Ghurar: 297, tertulis taghaful, seperti dikutip M. Taqi Falsafy, hal: 276. Hanya saja, maksud dari kedua redaksi itu adalah sama.
[11] Nahjul Balaghah, kata-kata hikmah no 222. Lihat Muhammad al-Raysyahry, Mizanul Hikmah (Qom : Darul Hadits, 1422 H), hal: 391.
[12] Muhammad Abduh, Nahj al-Balaghah; Syarh (Beirut : Muassasah al-A’lamy), Vol. 4, hal: 50.
[13] M. Jawad Mughniyah, Fi Dzilal nahj al-Balaghah ( Beirut : Dar al-Ilm, 1979), Vol. 4, hal: 350.
[14] Abu Hamid Izzudin Ibn Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1998), vol 19, hal: 18.
[15] A. Mustofa Bisri, Canda Nabi & Tawa Sufi (Jakarta Selatan : Hikmah, 2005 ), hal: 88-89.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

hallloowww bozs...

 
©2009 bismiLLah | by TNB