NOKIA dan Ideologi (1)

Saya masih ingat, saat itu seorang teman memberikan komentar singkat kepada saya. Namun, kalimat pendek itu bagi saya mengindikasikan suatu cara pandang tertentu, yang tentu saja ia tak menyadarinya. Setelah tak banyak mengolah pikir, saya bisa ambil konklusi, yang sah saja anda bilang gegabah.


Kisahnya begini, satu atau dua hari setelah teman saya membeli hp 3G produk LG, type KU380, hp tersebut—dengan segenap tetek bengeknya—saya bawa untuk instalasi program bawaannya ke laptop.
Sebelum instalasi, saya menghampiri sekumpulan teman-teman yang lagi asyik mengikuti dan menertawakan aksi-aksi yang ada di Tawa Sutra. Entah gimana ceritanya, waktu itu salah satu dari mereka ada yang tahu saya bawa hp baru yang, tentu saja, adalah milik teman saya. Dialog pun berlangsung antara saya dan dia. Betapa pun singkat, dia menutup dialog kami dengan komentar pendek, “yah, sayang merknya LG, bukan NOKIA”.

Saya tidak menyalahkan sikap yang ia pilih. Tak ada kekecewaan ataupun rasa kesal dalam benak saya atas komentar itu. Lagi pula, itu bukan hp saya. Hanya saja, pernyataan tersebut bagi saya menunjukkan salah satu cara pandang yang dianut oleh seorang teman ini. Saya menduga, dan hampir yakin, ia tak menyadarinya.

Sebetulnya ada banyak pertimbangan untuk membeli produk tertentu, demikian juga dengan hp. Di antaranya; pertimbangan kualitas, style, efisiensi biaya (harga), dan “citra”. Tentu masih ada pertimbangan-pertimbangan lain yang berhak anda cantumkan di sini.
Yang penting bagi saya, dan yang akan saya diskusikan ini adalah soal “citra”. Manusia memang unik, dengan segala kompleksitas yang ada dalam dirinya, ia dapat memilih dan menentukan suatu pilihan secara bebas dan sadar. Manusia—sebagai makhluk publik—punya sikap istimewa terhadap apa yang kita sebut “citra” ini. Perlukah di sini saya definisikan apa itu “citra”? jika mengikuti maksim-maksim Aristotelian tentu definisi itu perlu, betapa pun definisi sendiri memiliki gradasi validitasnya. Tetapi, di sini saya tidak ingin taklid ke Pak Muallim Awal ini. Biarlah saya dianggap “maksiat” melawan ajaran-ajarannya. Saya ingin menyerahkan “citra” sebagaimana terkonsepsikan dalam benak-benak para pembaca. Walau sepenuhnya saya sadar, konsep kita tentang “citra” bisa jadi sangat beragam, bahkan bisa bertentangan. Biarlah. Tertawalah untuk suatu perbedaan yang ada.

Keterkesimaan teman saya kepada NOKIA, menurut saya, muncul dari “citra” yang ada seputar NOKIA. Citra ini muncul dari banyak sebab. Dan yang terpenting bagi saya, citra ini dibentuk dan membentuk suatu cara pandang masyarakat. Yang memiliki peran terbesar dalam membentuk suatu citra adalah media massa, entah televisi, koran, atau yang lain. Tetapi, apa yang diiklankan oleh media massa tak sepenuhnya berhasil ketika tak ada feedback dari masyarakat. Di sini relasi interaktif antar kedua belah pihak (sebagai subjek-objek dan objek-subjek) menimbulkan “kenjlimetan” tersendiri untuk dideskripsikan. “Njlimet” di sini saya maksudkan dalam konteks dan perspektif filosofis, bukan dalam analisis psikologi massa atau pun psikologi media, misalnya. Dalam tataraan filosofis yang saya maksudkan pun tidak sekedar soal perdebatan isu “kausalitas”, atau—yang lebih religius—isu “gerak menuju kesempurnaan”. Namun, jauh melampaui itu semua. Saya sendiri belum punya kata-kata untuk menjelaskannya.

Kembali pada masalah di atas, tadi saya katakan “manusia—sebagai makhluk publik—punya sikap istimewa terhadap apa yang kita sebut “citra” ini”.

Bagi saya, pemberhalaan kita terhadap citra terkait erat dengan publik. Sebab, manusia sebagai manusia (dalam terma filosof Muslim Peripatetik; al-insan bima huwa insan) sama sekali tidak ada hubungannya dengan citra. Apakah seseorang itu mengikuti citra yang dibentuk oleh publik atau tidak, hal itu sama sekali tak akan mengeluarkannya dari dimensi “kemanusiaannya”. Manusia sebagai manusia adalah manusia, bukan satu, banyak, hitam, putih, atau yang lain. Tetapi, “manusia” thok. Tidak ada kaitannya dengan relasi-relasi (nisab [nisbah]) ataupun aneksi (idhafah) dengan realitas eksternal partikular-konkret. Jadi, manusia dari perspektif sebagai manusia tidak ada keharusan baginya untuk mengikatkan dirinya pada suatu citra tertentu. Apapun “warna” yang kita miliki, kita tetap manusia, selama kita masih berada dalam koridor esensi kemanusiaan. Dalam konteks ini, saya tak ingin menceburkan diri saya dalam perdebatan klasik soal esensi dan kuiditas kemanusiaan. Biarlah ia berlalu.
(bersambung..)

0 komentar:

 
©2009 bismiLLah | by TNB